Siapa yang tidak mengenal sampah. Kegiatan keseharian kita secara kasat dan tidak kasat mata menghasilkan banyak sampah. Yang kasat mata, baik yang tercipta di luar tubuh kita, semisal kita makan durian dan mencampakkan kulitnya, maupun yang tercipta dari tubuh kita, buang air kecil dan utamanya besar misalnya. Yang tidak kasat mata adalah pemakaian piranti penghasil eter yang memperbesar lubang lapisan ozon yang melindungi kehidupan umat manusia atau gas dari tubuh yang tidak bermanfaat bagi siapapun seperti kentut.
Dewasa ini perkataan sampah banyak digunakan untuk makna yang simbolis, seperti sampah masyarakat. Selain mereka yang jelas-jelas merugikan masyarakat seperi maling, penjudi, PSK, atau bandar narkoba, ada juga yang tergolong lebih elit tergolong sampah negara atau bangsa. Mereka ini ada yang bernama konglomerat hitam, birokrat bermazhab KKN, mafia peradilan, atau pelanggar Sapta Marga dan Tri Brata yang biasa disebut “oknum” TNI/Polri. Terakhir, barisan ini ditambah lagi dengan kelompok Politikus Busuk. Kriterianya belum jelas amat, juga pembobotan setiap kriterianya. Apalagi apa yang jadi sumber masukan pertimbangan serta siapa yang layak jadi panelis atau dewan panelis dalam hal keputusan bersifat group-decision.
Memang orang kita suka yang ramai-ramai seperti ini. Masih ingat kan waktu kita di Bangka ramai dengan soal sampah B3 Singapura atau sampah organik dari Betawi. Oke lah untuk sampah B3 business-to-cost analysis (BCA) nya memang agak kalut. Namun proposal pak Eko, yang Bupati Bangka waktu itu, mengenai “impor” sampah organik dari DKI terkesan lebih santer dihembuskan sisi kemudaratannya katimbang maslahatnya. Jika benar yang akan kita terima dari DKI adalah sampah organik, sekali lagi sampah organik, dewasa ini berkembang pesat teknologi Effective Microorganisms (EM) untuk pupuk organik, pestisida alami dan pakan ternak. Salah satu asupan untuk pemanfaatan teknologi EM ini adalah sampah organik tadi itu.
Bicara tentang teknologi, bang Sofyan Effendi yang Rektor GAMA pernah mengingatkan kita di Bangka untuk mulai menanam pohon sagu, karena konon pohon ini agak cocok dengan kondisi tanah kita. Soalnya dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, badan Internasional akan melarang penggunaan bahan plastik untuk semua kemasan. Botol aqua misalnya harus dibuat dari bahan yang disebut tetra-pack yang menggunakan sagu sebagai bahan-baku. Nantinya botol aqua ini tidak merusak lingkungan karena dapat larut di dalam air setelah sekian waktu. Tapi bicara soal teknologi yang larut melarut ini, bung Yahya menyitir bahwa di Bangka malahan sudah dikembangkan teknologi yang mampu membuat larut semen-beton di dalam air laut. Inilah teknologi yang diterapkan pada proyek talud di pantai Penyak Bangka Tengah. Waahhh!!!
Dewasa ini perkataan sampah banyak digunakan untuk makna yang simbolis, seperti sampah masyarakat. Selain mereka yang jelas-jelas merugikan masyarakat seperi maling, penjudi, PSK, atau bandar narkoba, ada juga yang tergolong lebih elit tergolong sampah negara atau bangsa. Mereka ini ada yang bernama konglomerat hitam, birokrat bermazhab KKN, mafia peradilan, atau pelanggar Sapta Marga dan Tri Brata yang biasa disebut “oknum” TNI/Polri. Terakhir, barisan ini ditambah lagi dengan kelompok Politikus Busuk. Kriterianya belum jelas amat, juga pembobotan setiap kriterianya. Apalagi apa yang jadi sumber masukan pertimbangan serta siapa yang layak jadi panelis atau dewan panelis dalam hal keputusan bersifat group-decision.
Memang orang kita suka yang ramai-ramai seperti ini. Masih ingat kan waktu kita di Bangka ramai dengan soal sampah B3 Singapura atau sampah organik dari Betawi. Oke lah untuk sampah B3 business-to-cost analysis (BCA) nya memang agak kalut. Namun proposal pak Eko, yang Bupati Bangka waktu itu, mengenai “impor” sampah organik dari DKI terkesan lebih santer dihembuskan sisi kemudaratannya katimbang maslahatnya. Jika benar yang akan kita terima dari DKI adalah sampah organik, sekali lagi sampah organik, dewasa ini berkembang pesat teknologi Effective Microorganisms (EM) untuk pupuk organik, pestisida alami dan pakan ternak. Salah satu asupan untuk pemanfaatan teknologi EM ini adalah sampah organik tadi itu.
Bicara tentang teknologi, bang Sofyan Effendi yang Rektor GAMA pernah mengingatkan kita di Bangka untuk mulai menanam pohon sagu, karena konon pohon ini agak cocok dengan kondisi tanah kita. Soalnya dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, badan Internasional akan melarang penggunaan bahan plastik untuk semua kemasan. Botol aqua misalnya harus dibuat dari bahan yang disebut tetra-pack yang menggunakan sagu sebagai bahan-baku. Nantinya botol aqua ini tidak merusak lingkungan karena dapat larut di dalam air setelah sekian waktu. Tapi bicara soal teknologi yang larut melarut ini, bung Yahya menyitir bahwa di Bangka malahan sudah dikembangkan teknologi yang mampu membuat larut semen-beton di dalam air laut. Inilah teknologi yang diterapkan pada proyek talud di pantai Penyak Bangka Tengah. Waahhh!!!
No comments:
Post a Comment