Ya ALLAH, sesungguhnya aku memohon kepada-MU ilmu ang bermanfaat, rezeki yang halal, dan amal yang diterima (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Selain pendidikan yang bersifat formal, saya termasuk getol mengikuti berbagai pelatihan. Pada tahun 1970-an saya pernah ikut diklat perpajakan dan memegang brevet konsulen pajak. Sayang saya tak lanjut dengan bidang ini, sehingga brevetnya jadi kadaluarsa. Demikian juga setiap Sabtu, jika lagi ada waktu luang, saya sering ikut pelatihan bidang pertanian dan peternakan di Pasar Minggu. Cara pembibitan dan penanaman hortikultura, ternak ayam buras, pelihara ikan hias dan ikan konsumsi, penggemukan sapi sampai dengan budi daya lidah buaya pernah saya ikuti. Lumayanlah, dengan uang Rp. 300.000,- kita bisa dapat ilmu, makan siang, sertifikat dan tali silaturahmi dengan kenalan baru.
Sebagai seorang praktisi Teknologi Infomasi, saya menyadari bahwa ibarat uang logam yang dua-muka, selain memberikan maslahat pastilah pemanfaatan teknologi ini mengandung mudharat dan mengundang resiko. Pentingnya pengawasan, pengendalian dan pengamanan mencuatkan profesi baru yang dikenal sebagai Auditor EDP, yang kemudian menjadi Auditor Sistem Informasi. Minat saya dalam profesi baru ini sebenarnya didorong oleh Surat Edaran dari Ditjen Pengawasan Keuangan Negara yang mewajibkan setiap BUMN yang laporan keuangannya dihasilkan dari pengolahan komputer untuk melakukan audit komputer. Kompetensi sebagai seorang auditor di seluruh dunia diakui melalui ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh asosiasi internasional profesi ini yakni ISACA, yang sebelumnya bernama EDPAA. Sebagai salah satu pimpinan ISACA Indonesia Chapter, saya merupakan peserta ujian sertifikasi yang pertama dan satu-satunya pada tahun 1988. Berbekal bahan bacaan dan materi seminar yang dihimpun dari berbagai sumber, saya menempuh ujian di International School di kawasan Tarogong. Ujian yang berjumlah 250 soal dan harus rampung dalam waktu 4 jam berhasil saya selesaikan dan sebulan kemudian keluarlah pengumuman dari kantor pusat ISACA : saya berhasil lulus dan berhak menyandang predikat Certified Information Systems Auditor ( CISA ) yang pertama di Indonesia. Sekaligus nama Indonesia terangkat peringkatnya di kalangan ISACA karena mampu meluluskan 100% calon yang maju ( memang hanya saya sendirian ). Di lingkungan masyarakat pengawasan seperti BPK, BPKP, dan juga BI, predikat CISA ini jauh lebih gagah dan disegani katimbang gelar kesarjanaan formal saya yang bermacam-macam itu. Di forum ISACA Internasional saya dikenal sebagai Dr. Ichjar Musa CISA.
Salah satu ganjelan saya dalam berolahraga adalah gangguan persendian alias reumatik. Bukan karena kurang gerak, tetapi rasanya karena kebanyakan menyantap makanan yang membangkitkan asam urat. Nyeri sendi di pangkal lengan, siku dan jemari menyebabkan permainan tennis, golf dan squash saya terganggu. Untuk mengatasinya saya selalu minum jamu Super Manjur Nomor 2 dari Cilacap. Timbul nyeri sedikit segera saya minum jamu tersebut, nyerinya akan hilang dan kemudian kambuh lagi. Saya punya persediaan jamu ini satu lemari obat penuh. Eeh, tiba-tiba keluar pengumuman dari Ditjen POM Depkes, yang melarang peredaran sejumlah jamu karena mengandung bahan kimia yang berbahaya. Salah satu jamu yang dilarang adalah Super Manjur Nomor 2 dari Cilacap ini! Dalam kondisi gundah karena nyeri sendi mulai terasa, saya nonton siaran TV yang menayangkan penyembuhan secara spiritual dengan memanfaatkan enerji alam semesta ( Reiki ). Yang diwawancarai pada acara itu adalah pak Wiyogo ex Gub DKI, yang cerita sakit sendinya hilang setelah menjadi praktisi Reiki. Saya telpon stasiun TV tersebut dan minta alamat pelatihan Reiki, dan kebetulan ada pelatihan pada Sabtu depannya. Sebagai penganut aliran rasional-analitis, awalnya rada malu ikut-ikutan hal yang kurang rasional ini. Tapi dari pada kalah main tennis lawan pak Darwis (kalahnya tidak soal, tapi ejekannya itu lho), yah saya jalani juga. Karena ingin instant noodle, saya langsung ikuti pelatihan Reiki I dan Reiki II berturut-turut. Saya jalani semua petunjuk yang diberikan, baik dalam melakukan meditasi, penyaluran enerji, pengendalian kundalini, maupun praktik membantu penyembuhan di klinik Reiki di kompleks Duta Merlin. Setelah merasa enerji yang disalurkan semakin kuat vibrasinya, Reiki III saya ikuti. Dan setahun kemudian baru saya mendapat attunement untuk Reiki IV dan mendapat sertifikat sebagai Reiki Master (RM). Selain berkemampuan menyalurkan nur-Ilahi untuk membantu penyembuhan-komplimenter (bukan penyembuhan alternatif) sebagaimana praktisi Reiki lainnya, seorang RM mampu dan berhak untuk menurunkan ilmu ini melalui prosesi inisialisasi (attunement). Di dalam pertemuan antara sesama penghusada saya dikenal dan disapa sebagai Ichjar Musa RM.
Sejalan dengan kemampuan bantuan penyembuhan memanfaatkan nur-Ilahi, saya juga tertarik dengan upaya terapi menggunakan teknik hypnosis atau yang dikenal sebagai Hypno-therapy. Untuk maksud tersebut saya mengikuti pelatihan dasar hypnosis dan dilajutkan dengan pelatihan khusus speed-induction, yakni teknik menghipnosis sesorang secara cepat. Walaupun sudah menjadi Certified Hypnotist (CH), tapi untuk ilmu yang satu ini saya belum banyak memanfaatkannya. Masih kuatir, salah-salah bisa digebuki orang disangka sedang praktik ilmu gendam. Jadi predikat CH sementara tidak saya pasang. Jika ada waktu, saya akan melanjutkan pelatihan sehingga jika dapat meraih Certified Hypno-Therapist (CHT) baru predikat ini saya pakai.
Memasuki tahun ajaran baru 2006, semula saya bermaksud mengambil program Magister Sains di UI untuk jurusan Manajemen SDM. Saya ikut ujian masuk dan berhasil lulus, namun pengaturan jadwal kuliah kurang cocok dengan aktifitas saya di klub De Seniors yang kelola. Kebetulan di koran ada iklan untuk pelatihan sebagai Mediator, yang diselenggarakan oleh IICT sebagai lembaga terakreditasi dari Mahkamah Agung. Pada waktu kuliah di Magister Hukum saya pernah mendapat mata kuliah tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dan Arbitrase. Mengetahui pentingnya penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan, serta mengantisipasi bakal banyaknya perkara perdata yang berpeluang diselesaikan melalui APS dan atau Arbitrase ini maka saya tertarik memasuki bidang ini. Dengan mengambil cuti seminggu dari kantor dan merogoh uang 4 juta dari kantong, saya lulus sebagai peringkat kedua dari diklat Mediator. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 maka saya berhak menyandang predikat Mediator Bersertifikasi atau Certified Mediator (CM) : Ichjar Musa C.M.
Sejujurnya, jika pendulum waktu bisa dimundurkan, sebenarnya cita-cita saya hanya satu. Saya ingin menyandang predikat sebagai “hafiz Al-Qur’an”. Berbekal predikat tersebut dapat dipastikan nasib saya di akhirat akan lebih menjanjikan katimbang sederet gelar yang saya miliki sekarang ini. Dan konon sebagai seorang hafiz juga diperkenankan untuk mengusulkan orang-orang yang kita pilih untuk dimohonkan mendapatkan syafa’at dari junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W. Mau ikut daftar?
Selain pendidikan yang bersifat formal, saya termasuk getol mengikuti berbagai pelatihan. Pada tahun 1970-an saya pernah ikut diklat perpajakan dan memegang brevet konsulen pajak. Sayang saya tak lanjut dengan bidang ini, sehingga brevetnya jadi kadaluarsa. Demikian juga setiap Sabtu, jika lagi ada waktu luang, saya sering ikut pelatihan bidang pertanian dan peternakan di Pasar Minggu. Cara pembibitan dan penanaman hortikultura, ternak ayam buras, pelihara ikan hias dan ikan konsumsi, penggemukan sapi sampai dengan budi daya lidah buaya pernah saya ikuti. Lumayanlah, dengan uang Rp. 300.000,- kita bisa dapat ilmu, makan siang, sertifikat dan tali silaturahmi dengan kenalan baru.
Sebagai seorang praktisi Teknologi Infomasi, saya menyadari bahwa ibarat uang logam yang dua-muka, selain memberikan maslahat pastilah pemanfaatan teknologi ini mengandung mudharat dan mengundang resiko. Pentingnya pengawasan, pengendalian dan pengamanan mencuatkan profesi baru yang dikenal sebagai Auditor EDP, yang kemudian menjadi Auditor Sistem Informasi. Minat saya dalam profesi baru ini sebenarnya didorong oleh Surat Edaran dari Ditjen Pengawasan Keuangan Negara yang mewajibkan setiap BUMN yang laporan keuangannya dihasilkan dari pengolahan komputer untuk melakukan audit komputer. Kompetensi sebagai seorang auditor di seluruh dunia diakui melalui ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh asosiasi internasional profesi ini yakni ISACA, yang sebelumnya bernama EDPAA. Sebagai salah satu pimpinan ISACA Indonesia Chapter, saya merupakan peserta ujian sertifikasi yang pertama dan satu-satunya pada tahun 1988. Berbekal bahan bacaan dan materi seminar yang dihimpun dari berbagai sumber, saya menempuh ujian di International School di kawasan Tarogong. Ujian yang berjumlah 250 soal dan harus rampung dalam waktu 4 jam berhasil saya selesaikan dan sebulan kemudian keluarlah pengumuman dari kantor pusat ISACA : saya berhasil lulus dan berhak menyandang predikat Certified Information Systems Auditor ( CISA ) yang pertama di Indonesia. Sekaligus nama Indonesia terangkat peringkatnya di kalangan ISACA karena mampu meluluskan 100% calon yang maju ( memang hanya saya sendirian ). Di lingkungan masyarakat pengawasan seperti BPK, BPKP, dan juga BI, predikat CISA ini jauh lebih gagah dan disegani katimbang gelar kesarjanaan formal saya yang bermacam-macam itu. Di forum ISACA Internasional saya dikenal sebagai Dr. Ichjar Musa CISA.
Salah satu ganjelan saya dalam berolahraga adalah gangguan persendian alias reumatik. Bukan karena kurang gerak, tetapi rasanya karena kebanyakan menyantap makanan yang membangkitkan asam urat. Nyeri sendi di pangkal lengan, siku dan jemari menyebabkan permainan tennis, golf dan squash saya terganggu. Untuk mengatasinya saya selalu minum jamu Super Manjur Nomor 2 dari Cilacap. Timbul nyeri sedikit segera saya minum jamu tersebut, nyerinya akan hilang dan kemudian kambuh lagi. Saya punya persediaan jamu ini satu lemari obat penuh. Eeh, tiba-tiba keluar pengumuman dari Ditjen POM Depkes, yang melarang peredaran sejumlah jamu karena mengandung bahan kimia yang berbahaya. Salah satu jamu yang dilarang adalah Super Manjur Nomor 2 dari Cilacap ini! Dalam kondisi gundah karena nyeri sendi mulai terasa, saya nonton siaran TV yang menayangkan penyembuhan secara spiritual dengan memanfaatkan enerji alam semesta ( Reiki ). Yang diwawancarai pada acara itu adalah pak Wiyogo ex Gub DKI, yang cerita sakit sendinya hilang setelah menjadi praktisi Reiki. Saya telpon stasiun TV tersebut dan minta alamat pelatihan Reiki, dan kebetulan ada pelatihan pada Sabtu depannya. Sebagai penganut aliran rasional-analitis, awalnya rada malu ikut-ikutan hal yang kurang rasional ini. Tapi dari pada kalah main tennis lawan pak Darwis (kalahnya tidak soal, tapi ejekannya itu lho), yah saya jalani juga. Karena ingin instant noodle, saya langsung ikuti pelatihan Reiki I dan Reiki II berturut-turut. Saya jalani semua petunjuk yang diberikan, baik dalam melakukan meditasi, penyaluran enerji, pengendalian kundalini, maupun praktik membantu penyembuhan di klinik Reiki di kompleks Duta Merlin. Setelah merasa enerji yang disalurkan semakin kuat vibrasinya, Reiki III saya ikuti. Dan setahun kemudian baru saya mendapat attunement untuk Reiki IV dan mendapat sertifikat sebagai Reiki Master (RM). Selain berkemampuan menyalurkan nur-Ilahi untuk membantu penyembuhan-komplimenter (bukan penyembuhan alternatif) sebagaimana praktisi Reiki lainnya, seorang RM mampu dan berhak untuk menurunkan ilmu ini melalui prosesi inisialisasi (attunement). Di dalam pertemuan antara sesama penghusada saya dikenal dan disapa sebagai Ichjar Musa RM.
Sejalan dengan kemampuan bantuan penyembuhan memanfaatkan nur-Ilahi, saya juga tertarik dengan upaya terapi menggunakan teknik hypnosis atau yang dikenal sebagai Hypno-therapy. Untuk maksud tersebut saya mengikuti pelatihan dasar hypnosis dan dilajutkan dengan pelatihan khusus speed-induction, yakni teknik menghipnosis sesorang secara cepat. Walaupun sudah menjadi Certified Hypnotist (CH), tapi untuk ilmu yang satu ini saya belum banyak memanfaatkannya. Masih kuatir, salah-salah bisa digebuki orang disangka sedang praktik ilmu gendam. Jadi predikat CH sementara tidak saya pasang. Jika ada waktu, saya akan melanjutkan pelatihan sehingga jika dapat meraih Certified Hypno-Therapist (CHT) baru predikat ini saya pakai.
Memasuki tahun ajaran baru 2006, semula saya bermaksud mengambil program Magister Sains di UI untuk jurusan Manajemen SDM. Saya ikut ujian masuk dan berhasil lulus, namun pengaturan jadwal kuliah kurang cocok dengan aktifitas saya di klub De Seniors yang kelola. Kebetulan di koran ada iklan untuk pelatihan sebagai Mediator, yang diselenggarakan oleh IICT sebagai lembaga terakreditasi dari Mahkamah Agung. Pada waktu kuliah di Magister Hukum saya pernah mendapat mata kuliah tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dan Arbitrase. Mengetahui pentingnya penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan, serta mengantisipasi bakal banyaknya perkara perdata yang berpeluang diselesaikan melalui APS dan atau Arbitrase ini maka saya tertarik memasuki bidang ini. Dengan mengambil cuti seminggu dari kantor dan merogoh uang 4 juta dari kantong, saya lulus sebagai peringkat kedua dari diklat Mediator. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 maka saya berhak menyandang predikat Mediator Bersertifikasi atau Certified Mediator (CM) : Ichjar Musa C.M.
Sejujurnya, jika pendulum waktu bisa dimundurkan, sebenarnya cita-cita saya hanya satu. Saya ingin menyandang predikat sebagai “hafiz Al-Qur’an”. Berbekal predikat tersebut dapat dipastikan nasib saya di akhirat akan lebih menjanjikan katimbang sederet gelar yang saya miliki sekarang ini. Dan konon sebagai seorang hafiz juga diperkenankan untuk mengusulkan orang-orang yang kita pilih untuk dimohonkan mendapatkan syafa’at dari junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W. Mau ikut daftar?
No comments:
Post a Comment