Kuliah Perdana Mahasiswa Baru STEKPI
Jakarta ; 6 September 2003
Dr. Ir. Ichyar Musa S.E., M.M.
Jakarta ; 6 September 2003
Dr. Ir. Ichyar Musa S.E., M.M.
Sebagai bagian dari bani Adam yang sekarang hidup di dunia, bangsa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang sedang berlangsung. Senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, siap atau belum siap, kita sudah berada dalam kurun dalam sejarah umat manusia yang disebut sebagai era Globalisasi atau era Penduniaan. Umum disepakati bahwa era Globalisasi ini ditandai oleh tiga kondisi yang dominan yakni perubahan yang cepat, persaingan yang sengit, dan tuntutan yang meningkat.
Siapa yang menyangka bahwa imperium Sovyet Rusia bubar demikian mudahnya sehingga perimbangan kekuatan dunia menjadi timpang, krisis moneter yang serta merta memelaratkan sebagian bangsa di dunia, termasuk Indonesia, serta kejatuhan secara kilat Saddam Hussein yang memunculkan posisi Amerika Serikat sebagai penjajah versi baru. Demikian kerapnya perubahan yang terjadi sehingga tercipta suatu paradoks yang menyatakan bahwa satu-satunya hal yang tidak berubah justeru adalah perubahan itu sendiri.
Dengan terbatasnya sumber daya dan ketatnya alokasi faktor-faktor produksi, persaingan menjadi suatu menu keseharian. Dalam lingkup makro, persaingan terjadi antar Negara dan antar kelompok Negara. Kesepakatan forum WTO tentang perdagangan bebas, kesepahaman kekuatan ekonomi dalam APEC, dan kerja sama regional ASEAN dalam wujud AFTA 2003,
walaupun sosok luarnya disemangati oleh pembinaan kemitraan dan pembangunan jejaring, namun tetap saja bernuansa persaingan antar Negara. Demkian pula dalam lingkup mikro, persaingan yang semakin tajam terjadi di semua sektor bisnis dan lini tahap usaha. Diversifikasi vertikal, horizontal dan diagonal, konglomerasi, serta aliansi atau kemitraan strategis, adalah istilah sopan untuk menyatakan upaya pelaku bisnis dalam memenangkan persaingan usaha. Merasuknya pebisnis kakap dalam usaha dagang eceran, masuknya tenaga profesional akuntan India, KFC masuk desa dan Mbok Berek masuk kota, serta maraknya perang iklan di media massa, menandai kerasnya persaingan yang harus dihadapi.
Era globalisasi yang memberikan kemudahan dan kebebasan dalam mendapatkan informasi, memberikan implikasi meningkatnya pemahaman tentang harkat dan kualitas hidup manusia. Demikian pula hal ini memacu semakin luasnya kesadaran tentang hak-hak konsumen. Mengandalkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta provokasi LSM Perlindungan Konsumen yang lumayam gencar akhir-akhir ini, telah berhasil membentuk suatu kondisi masyarakat yang semakin mampu dan mau menuntut hak-haknya. Pada intinya, semua pengguna atau konsumen produk, barang dan atau jasa, menginginkan kualitas produk yang baik, penggunaan yang aman dan ramah lingkungan, pasokan terjamin, harga terjangkau, serta cara bertransaksi yang mudah. Selain hal ini mempengaruhi sisi permintaan, tidak jarang kegagalan pemenuhan hak-hak tersebut berbuntut dengan tuntutan terbuka. Tuntutan ini berangkat mulai dari tuntutan ringan berupa keluhan dengan surat pembaca di koran-koran, pengaduan pelanggaran UU Nomor 8 tahun 1999 secara individual, sampai dengan penggelaran class-action melalui lembaga peradilan.
Menghadapi dan menyadari ketiga kondisi yang melekat pada Globalisasi tersebut, manusia berusaha untuk menciptakan berbagai kiat, salah satu adalah pemberdayaan dan pemanfaatan Teknologi. Selain teknologi ruang angkasa, teknologi sumber daya enerji, teknologi material baru dan bio-technology, teknologi unggulan yang banyak diandalkan masyarakat dunia adalah Teknologi Informasi. Teknologi yang basis inovasinya adalah micro-electronics ini mendukung lompatan jauh dalam pengembangan luar biasa bidang Telekomunikasi, Multimedia dan Informatika. Di Indonesia sinerji antara ketiga bidang berbasis Teknologi Informasi ini dikukuhkan dengan sebutan Telematika. Jika Malaysia bangga dengan proyek MSC-nya ( Multimedia Super Corridor), Singapura dengan Singapore - ONE, sebelum krisis moneter Indonesia sempat meluncurkan proyek Telematika Indonesia, yang sayang dibatalkan karena terimbas krisis yang berkepanjangan. Secara umum, era globalisasi sekarang ini kemudian dianggap berhimpitan dengan era Cyberspace atau era Mayantara ( Ruang Maya ).
Dengan kapabilitas olah yang tinggi, kapasitas simpan dan transmisi data dan informasi yang masif, serta bentangan jejaring dengan jangkauan yang hampir tanpa batas, pemberdayaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi yang mantap, dianggap mampu meredam sisi negatif dari kondisi-kondisi yang terkait dengan Globalisasi. Kemampuan peramalan yang semakin tajam, arsitektur sistem yang mudah dan ramah terhadap perubahan, dan koneksi yang nir-spasial ( tidak mengindahkan aspek waktu dan ruang ), merupakan jawaban atas tantangan perubahan yang kerap. Dukungan Teknologi Informasi dalam bentuk sistem informasi yang langsung atau tidak langsung terhadap pelaksanaan operasi, kemampuan untuk pemecahan masalah yang kompleks, serta kecepatan dalam pengambilan keputusan yang berkriteria majemuk, memungkinkan daya-saing yang tinggi bagi pemanfaatnya. Dengan menggelar kemampuan robotic dan sistem instrumentasi berpresisi tinggi, serta perangkat Enterprise Resources Planning dalam berproduksi, memungkinkan konsumen untuk mendapatkan produk yang berkualitas dan terjangkau. Demikian pula, dengan berdukungan jejaring buana Internet, implementasi Web-based services, serta layanan portal dan websites, tuntutan masyarakat atas layanan yang prima dan atau keterbukaan informasi akan terjawab.
Sayangnya kemampuan untuk memberdayakan dan memanfaatkan Teknologi Informasi ini berbeda antara satu Negara dengan Negara yang lain, demikian pula antara institusi atau perusahaan satu dengan institusi atau perusahaan lainnya. Pada tingkat Negara dikenal pemilahan antara Negara yang information-rich dan information-poor, yang selanjutnya menciptakan apa yang lazim disebut sebagai digital-divide, dan yang akhirnya akan menjadi knowledge-divide. Sedangkan pada tingkat institusi atau perusahaan, juga menjalar ke kalangan eksekutif, suatu istilah yang disebut sadar-teknologi dan gagap-teknologi. Kesenjangan ini dipicu oleh berbagai faktor, antara lain tingkat penguasaan teknologi, tingkat pemanfaatan aplikasi, kuantitas dan kualitas SDM, ketersediaan dan keterjangkauan jejaring, dan khasanah himpunan-pengetahuan (knowledge-base). Selain faktor yang teknis ini, kesenjangan dapat pula muncul dari faktor non-teknis seperti tingkat pemahaman atas kultur information-society, kemantapan aspek legal atau Cyber-law, yang lazimnya terkait dengan security, privacy dan piracy, serta kemapanan tata-kelola dan pengawasan penyelenggaaan pemanfaatan Teknologi Informasi ( IT Governance dan IT Audit ). Menarik untuk diamati beberapa indikator yang digunakan untuk memilah kelompok information-rich dan information-poor, antara lain densitas pengguna telepon, jumlah Mbit yang ditransmisikan, PC yang terpasang, jumlah Internet Services Provider dan pengguna Internet, dan tingkat ketergantungan terhadap aplikasi. Selain itu ada indikator lain yang turut dipertimbangkan misalnya tingkat peranserta dan dukungan Pemerintah, pemberlakuan Cyber-law, serta intensitas pelanggaran HAKI, utamanya Hak Cipta, dalam wujud pembajakan perangkat lunak.
Memang pada awalnya Teknologi Informasi menjadi prime-mover lahirnya konsep Globalisasi yang borderless, seamless, wireless dan paperless. Namun kini terjadi hubungan kausal, dimana kondisi-kondisi globalisasi yang telah diuraikan di atas menjadi katalisator malahan pemicu perkembangan dahsyat Teknologi Informasi. Yang pasti, kita sekarang berada dalam kurun waktu di mana ekonomi-simbol mempunyai magnitude jauh melampaui ekonomi-nyata. Ekonomi-simbol pada hakekatnya adalah bertumpu pada penguasaan intelijensia yakni sinerji antara data, informasi dan analisis, atau sering disebut sebagai ekonomi-kuartiner. Salah satu bentuk ekonomi-simbol adalah kegiatan transaksi dalam pasar uang dan pasar modal, yang terjadi tanpa ada jedahnya dan tanpa batas Negara. Kegiatan ekonomi lain yang tidak pernah berhenti 24 jam sehari adalah jasa telekomunikasi, jasa perdagangan, jasa transportasi, jasa pariwisata dan jasa hiburan, yang semuanya merupakan bagian dari ekonomi-tersier yang sarat dukungan Teknologi Informasi ( IT-based sevices ). Selain di sektor ekonomi yang memunculkan berbagai istilah seperti e-Business, e-Enterprise, virtual-Company, e-Commerce, e-Banking dan e-Taxation, pemanfaatan Teknologi Informasi di sektor publik memunculkan pula istilah seperti e-Government, tele-medication, distant-learning, e-Court, on-demand entertainment, virtual-Reality, dan e-school atau cyber-campus.
Memahami dan menyadari pentingnya Teknologi Informasi dalam era Globalisasi sekarang ini, maka perlu setiap insan Indonesia, utamanya kalangan terpelajarnya, untuk memahami dan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi ini. Kompetensi di bidang Teknologi Informasi menjadi suatu ko-kompetensi untuk bidang ilmu lainnya, termasuk ilmu sosial seperti ekonomi, administrasi, komunikasi, sampai dengan hukum. Kompetensi di bidang Teknologi Informasi ini diciptakan melalui pengajaran mata kuliah tentang dasar-dasar Teknologi Informasi, pengayaan mata kuliah dengan materi pemanfaatan Teknologi Informasi, pemanfaatan Teknologi Informasi sebagai fasilitator dalam pemberian materi, dan penyelenggaraan diklat khusus keterampilan yang bersertifikat keahlian. Lingkungan pendidikan akan menjadi lebih kondusif bagi pemahaman Teknologi Informasi jika diimplementasikan konsep cyber-campus. Dengan konsep cyber-campus ini, baik pengelolaan institusi pendidikan, adminstrasi kemahasiswaan, layanan perpustakaan (e-Library), layanan Internet, cara dan bentuk pengajaran secara on-line dan atau multimedia yang mengurangi porsi tatap-muka,, serta interaksi dengan stakeholder melalui portal dan web-sites.
Sebagaimana halnya dengan kehadiran berbagai teknologi unggulan, pemanfaatannya mempunyai dua sisi permasalahan. Ibarat pisau bermata dua, selain memetik maslahat juga tidak bisa dihindarkan terciptanya kemudaratan dalam pemanfaatan Teknologi Informasi. Sejalan dengan desakan kuat bagi setiap pelaku usaha untuk menegakkan Good Corporate Governance ( GCG ), pada satu sisi Teknologi Informasi akan berperan besar dalam mewujudkan prinsip-prinsip GCG ( transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan + independensi ), sedangkan pada sisi lain prinsip-prinsip GCG tersebut patut diterapkan dalam pemanfaatan Teknologi Informasi itu sendiri. Penerapan GCG ini yang disebut sebagai Tata Kelola Teknologi Informasi ( IT Governance ). Secara holistik, keberhasilan implementasi suatu aplikasi Teknologi Informasi ditentukan oleh kejelian meraih maslahat yang tercipta, dan kemampuan untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi mudarat yang timbul. Oleh karena itu, selain ilmu yang berkenaan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi, juga perlu diberikan ilmu yang berkenaan dengan pengawasan, pengendalian dan pengamanan Teknologi Informasi, atau yang lazim disebut sebagai Audit Teknologi Informasi.
Untuk dapat tetap diperhitungkan di dalam kancah pergaulan global, kita harus semakin mantap dalam penguasaan dan pemanfaatan Teknologi Indonesia. Tidak hanya sekedar maju, tetapi maju dengan kecepatan dan percepatan, yang memungkinkan kita untuk mengimbangi Negara-negara lain yang pasti juga akan berikhtiar melakukan hal yang sama pula. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi perlu segera membenahi kurikulum, melengkapi fasilitas, dan membangun lingkungan yang kondusif, yang memungkinkan pembangunan sumber daya insani yang sadar Teknologi Informasi dan sekali gus mampu serta terampil dalam pemanfaatannya. Semoga !!!
Siapa yang menyangka bahwa imperium Sovyet Rusia bubar demikian mudahnya sehingga perimbangan kekuatan dunia menjadi timpang, krisis moneter yang serta merta memelaratkan sebagian bangsa di dunia, termasuk Indonesia, serta kejatuhan secara kilat Saddam Hussein yang memunculkan posisi Amerika Serikat sebagai penjajah versi baru. Demikian kerapnya perubahan yang terjadi sehingga tercipta suatu paradoks yang menyatakan bahwa satu-satunya hal yang tidak berubah justeru adalah perubahan itu sendiri.
Dengan terbatasnya sumber daya dan ketatnya alokasi faktor-faktor produksi, persaingan menjadi suatu menu keseharian. Dalam lingkup makro, persaingan terjadi antar Negara dan antar kelompok Negara. Kesepakatan forum WTO tentang perdagangan bebas, kesepahaman kekuatan ekonomi dalam APEC, dan kerja sama regional ASEAN dalam wujud AFTA 2003,
walaupun sosok luarnya disemangati oleh pembinaan kemitraan dan pembangunan jejaring, namun tetap saja bernuansa persaingan antar Negara. Demkian pula dalam lingkup mikro, persaingan yang semakin tajam terjadi di semua sektor bisnis dan lini tahap usaha. Diversifikasi vertikal, horizontal dan diagonal, konglomerasi, serta aliansi atau kemitraan strategis, adalah istilah sopan untuk menyatakan upaya pelaku bisnis dalam memenangkan persaingan usaha. Merasuknya pebisnis kakap dalam usaha dagang eceran, masuknya tenaga profesional akuntan India, KFC masuk desa dan Mbok Berek masuk kota, serta maraknya perang iklan di media massa, menandai kerasnya persaingan yang harus dihadapi.
Era globalisasi yang memberikan kemudahan dan kebebasan dalam mendapatkan informasi, memberikan implikasi meningkatnya pemahaman tentang harkat dan kualitas hidup manusia. Demikian pula hal ini memacu semakin luasnya kesadaran tentang hak-hak konsumen. Mengandalkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta provokasi LSM Perlindungan Konsumen yang lumayam gencar akhir-akhir ini, telah berhasil membentuk suatu kondisi masyarakat yang semakin mampu dan mau menuntut hak-haknya. Pada intinya, semua pengguna atau konsumen produk, barang dan atau jasa, menginginkan kualitas produk yang baik, penggunaan yang aman dan ramah lingkungan, pasokan terjamin, harga terjangkau, serta cara bertransaksi yang mudah. Selain hal ini mempengaruhi sisi permintaan, tidak jarang kegagalan pemenuhan hak-hak tersebut berbuntut dengan tuntutan terbuka. Tuntutan ini berangkat mulai dari tuntutan ringan berupa keluhan dengan surat pembaca di koran-koran, pengaduan pelanggaran UU Nomor 8 tahun 1999 secara individual, sampai dengan penggelaran class-action melalui lembaga peradilan.
Menghadapi dan menyadari ketiga kondisi yang melekat pada Globalisasi tersebut, manusia berusaha untuk menciptakan berbagai kiat, salah satu adalah pemberdayaan dan pemanfaatan Teknologi. Selain teknologi ruang angkasa, teknologi sumber daya enerji, teknologi material baru dan bio-technology, teknologi unggulan yang banyak diandalkan masyarakat dunia adalah Teknologi Informasi. Teknologi yang basis inovasinya adalah micro-electronics ini mendukung lompatan jauh dalam pengembangan luar biasa bidang Telekomunikasi, Multimedia dan Informatika. Di Indonesia sinerji antara ketiga bidang berbasis Teknologi Informasi ini dikukuhkan dengan sebutan Telematika. Jika Malaysia bangga dengan proyek MSC-nya ( Multimedia Super Corridor), Singapura dengan Singapore - ONE, sebelum krisis moneter Indonesia sempat meluncurkan proyek Telematika Indonesia, yang sayang dibatalkan karena terimbas krisis yang berkepanjangan. Secara umum, era globalisasi sekarang ini kemudian dianggap berhimpitan dengan era Cyberspace atau era Mayantara ( Ruang Maya ).
Dengan kapabilitas olah yang tinggi, kapasitas simpan dan transmisi data dan informasi yang masif, serta bentangan jejaring dengan jangkauan yang hampir tanpa batas, pemberdayaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi yang mantap, dianggap mampu meredam sisi negatif dari kondisi-kondisi yang terkait dengan Globalisasi. Kemampuan peramalan yang semakin tajam, arsitektur sistem yang mudah dan ramah terhadap perubahan, dan koneksi yang nir-spasial ( tidak mengindahkan aspek waktu dan ruang ), merupakan jawaban atas tantangan perubahan yang kerap. Dukungan Teknologi Informasi dalam bentuk sistem informasi yang langsung atau tidak langsung terhadap pelaksanaan operasi, kemampuan untuk pemecahan masalah yang kompleks, serta kecepatan dalam pengambilan keputusan yang berkriteria majemuk, memungkinkan daya-saing yang tinggi bagi pemanfaatnya. Dengan menggelar kemampuan robotic dan sistem instrumentasi berpresisi tinggi, serta perangkat Enterprise Resources Planning dalam berproduksi, memungkinkan konsumen untuk mendapatkan produk yang berkualitas dan terjangkau. Demikian pula, dengan berdukungan jejaring buana Internet, implementasi Web-based services, serta layanan portal dan websites, tuntutan masyarakat atas layanan yang prima dan atau keterbukaan informasi akan terjawab.
Sayangnya kemampuan untuk memberdayakan dan memanfaatkan Teknologi Informasi ini berbeda antara satu Negara dengan Negara yang lain, demikian pula antara institusi atau perusahaan satu dengan institusi atau perusahaan lainnya. Pada tingkat Negara dikenal pemilahan antara Negara yang information-rich dan information-poor, yang selanjutnya menciptakan apa yang lazim disebut sebagai digital-divide, dan yang akhirnya akan menjadi knowledge-divide. Sedangkan pada tingkat institusi atau perusahaan, juga menjalar ke kalangan eksekutif, suatu istilah yang disebut sadar-teknologi dan gagap-teknologi. Kesenjangan ini dipicu oleh berbagai faktor, antara lain tingkat penguasaan teknologi, tingkat pemanfaatan aplikasi, kuantitas dan kualitas SDM, ketersediaan dan keterjangkauan jejaring, dan khasanah himpunan-pengetahuan (knowledge-base). Selain faktor yang teknis ini, kesenjangan dapat pula muncul dari faktor non-teknis seperti tingkat pemahaman atas kultur information-society, kemantapan aspek legal atau Cyber-law, yang lazimnya terkait dengan security, privacy dan piracy, serta kemapanan tata-kelola dan pengawasan penyelenggaaan pemanfaatan Teknologi Informasi ( IT Governance dan IT Audit ). Menarik untuk diamati beberapa indikator yang digunakan untuk memilah kelompok information-rich dan information-poor, antara lain densitas pengguna telepon, jumlah Mbit yang ditransmisikan, PC yang terpasang, jumlah Internet Services Provider dan pengguna Internet, dan tingkat ketergantungan terhadap aplikasi. Selain itu ada indikator lain yang turut dipertimbangkan misalnya tingkat peranserta dan dukungan Pemerintah, pemberlakuan Cyber-law, serta intensitas pelanggaran HAKI, utamanya Hak Cipta, dalam wujud pembajakan perangkat lunak.
Memang pada awalnya Teknologi Informasi menjadi prime-mover lahirnya konsep Globalisasi yang borderless, seamless, wireless dan paperless. Namun kini terjadi hubungan kausal, dimana kondisi-kondisi globalisasi yang telah diuraikan di atas menjadi katalisator malahan pemicu perkembangan dahsyat Teknologi Informasi. Yang pasti, kita sekarang berada dalam kurun waktu di mana ekonomi-simbol mempunyai magnitude jauh melampaui ekonomi-nyata. Ekonomi-simbol pada hakekatnya adalah bertumpu pada penguasaan intelijensia yakni sinerji antara data, informasi dan analisis, atau sering disebut sebagai ekonomi-kuartiner. Salah satu bentuk ekonomi-simbol adalah kegiatan transaksi dalam pasar uang dan pasar modal, yang terjadi tanpa ada jedahnya dan tanpa batas Negara. Kegiatan ekonomi lain yang tidak pernah berhenti 24 jam sehari adalah jasa telekomunikasi, jasa perdagangan, jasa transportasi, jasa pariwisata dan jasa hiburan, yang semuanya merupakan bagian dari ekonomi-tersier yang sarat dukungan Teknologi Informasi ( IT-based sevices ). Selain di sektor ekonomi yang memunculkan berbagai istilah seperti e-Business, e-Enterprise, virtual-Company, e-Commerce, e-Banking dan e-Taxation, pemanfaatan Teknologi Informasi di sektor publik memunculkan pula istilah seperti e-Government, tele-medication, distant-learning, e-Court, on-demand entertainment, virtual-Reality, dan e-school atau cyber-campus.
Memahami dan menyadari pentingnya Teknologi Informasi dalam era Globalisasi sekarang ini, maka perlu setiap insan Indonesia, utamanya kalangan terpelajarnya, untuk memahami dan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi ini. Kompetensi di bidang Teknologi Informasi menjadi suatu ko-kompetensi untuk bidang ilmu lainnya, termasuk ilmu sosial seperti ekonomi, administrasi, komunikasi, sampai dengan hukum. Kompetensi di bidang Teknologi Informasi ini diciptakan melalui pengajaran mata kuliah tentang dasar-dasar Teknologi Informasi, pengayaan mata kuliah dengan materi pemanfaatan Teknologi Informasi, pemanfaatan Teknologi Informasi sebagai fasilitator dalam pemberian materi, dan penyelenggaraan diklat khusus keterampilan yang bersertifikat keahlian. Lingkungan pendidikan akan menjadi lebih kondusif bagi pemahaman Teknologi Informasi jika diimplementasikan konsep cyber-campus. Dengan konsep cyber-campus ini, baik pengelolaan institusi pendidikan, adminstrasi kemahasiswaan, layanan perpustakaan (e-Library), layanan Internet, cara dan bentuk pengajaran secara on-line dan atau multimedia yang mengurangi porsi tatap-muka,, serta interaksi dengan stakeholder melalui portal dan web-sites.
Sebagaimana halnya dengan kehadiran berbagai teknologi unggulan, pemanfaatannya mempunyai dua sisi permasalahan. Ibarat pisau bermata dua, selain memetik maslahat juga tidak bisa dihindarkan terciptanya kemudaratan dalam pemanfaatan Teknologi Informasi. Sejalan dengan desakan kuat bagi setiap pelaku usaha untuk menegakkan Good Corporate Governance ( GCG ), pada satu sisi Teknologi Informasi akan berperan besar dalam mewujudkan prinsip-prinsip GCG ( transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan + independensi ), sedangkan pada sisi lain prinsip-prinsip GCG tersebut patut diterapkan dalam pemanfaatan Teknologi Informasi itu sendiri. Penerapan GCG ini yang disebut sebagai Tata Kelola Teknologi Informasi ( IT Governance ). Secara holistik, keberhasilan implementasi suatu aplikasi Teknologi Informasi ditentukan oleh kejelian meraih maslahat yang tercipta, dan kemampuan untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi mudarat yang timbul. Oleh karena itu, selain ilmu yang berkenaan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi, juga perlu diberikan ilmu yang berkenaan dengan pengawasan, pengendalian dan pengamanan Teknologi Informasi, atau yang lazim disebut sebagai Audit Teknologi Informasi.
Untuk dapat tetap diperhitungkan di dalam kancah pergaulan global, kita harus semakin mantap dalam penguasaan dan pemanfaatan Teknologi Indonesia. Tidak hanya sekedar maju, tetapi maju dengan kecepatan dan percepatan, yang memungkinkan kita untuk mengimbangi Negara-negara lain yang pasti juga akan berikhtiar melakukan hal yang sama pula. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan tinggi perlu segera membenahi kurikulum, melengkapi fasilitas, dan membangun lingkungan yang kondusif, yang memungkinkan pembangunan sumber daya insani yang sadar Teknologi Informasi dan sekali gus mampu serta terampil dalam pemanfaatannya. Semoga !!!
No comments:
Post a Comment