Terlahir sebagai anak yang kesebelas dari sebelas bersaudara, pastilah saya bukan menjadi anak yang terlalu diharap-harapkan kelahirannya. Mungkin juga hal ini sekedar sebagai dampak belum dikenalnya program Keluarga Berencana pada waktu itu. Dengan bantuan bidan kampung, saya lahir di Mentok di ujung barat pulau Bangka. Tepatnya di suatu rumah panggung yang terletak di jalan menuju Kota Seribu, yakni situs pemakaman leluhur dan tokoh-tokoh pendatang masa lalu. Saya diberi nama Ichjar, karena abang di atas saya bernama Ichsan maka penggal nama “Ich” dipakai lagi untuk mudahnya. Sedangkan penggal kata “jar” diambil dari kata “berlayar” karena waktu saya dilahirkan ayah tidak berada di rumah melainkan sedang berlayar dengan kapal penangkap ikannya. Tapi oleh sebagian orang-orang tua famili saya, nama saya sering disebut Achjar. Kalau nama ini agak berat nyandangnya, karena konon dalam bahasa Arab berarti “orang (jamak) yang baik”.
Sebenarnya keluarga besar kami pada waktu itu tinggal di rumah di kawasan kebun yang terletak 10 km dari Mentok. Di jalan yang menuju ke arah mercu suar Tanjung Kelian. Pada waktu bala tentara Jepang mendarat di pantai Tanjung Kelian dan masuk ke kota Mentok, keluarga justeru hijrah ke dalam kota dan menempati rumah kepunyaan nenek yang di Kota Seribu tadi. Walaupun sering berpindah rumah karena nenek ( dari pihak ayah ) punya banyak rumah dan ayah putera tunggalnya, masa kecil saya sebagian besar dihabiskan di rumah yang terletak di Kampung Tanjung dan rumah yang di kebun. Lazimnya kami bedol keluarga ke kebun jika musim buah-buahan utamanya rambutan telah tiba. Ayah seorang penggemar berat tanaman hortikultura. Kebun kami penuh dengan puluhan pohon rambutan aneka jenis, pohon mangga dan jambu. Mungkin koleksi jenis rambutan tak ada yang menyamai kebun kami. Rapi’ah, kopyor, lebak bulus, si macan, si gajah, kelingking, merupakan sebagian nama yang bisa saya ingat. Semua bibitnya oleh ayah ditelusuri dan dibeli di Jawa dan dibawa ke Bangka dengan kapal ikannya. Sayang, kebun tersebut sudah punah terbakar, demikian pula rumah di situ tinggal seonggok tiang saja yang tersisa sebagai kenangan.
Sebagai anak bungsu, banyak kemudahan yang didapat, baik dalam tingkat prioritas pembagian rejeki maupun proteksi fisik dari abang-abang yang sudah besar. Apalagi jika berhadapan dengan para atok (istilah kami untuk menyebut kakek), si bungsu selalu menjadi cucu kesayangan. Penganan selalu disembunyikan kalau abang-abang datang ke rumah atok, tetapi segera keluar jika saya yang datang. Karena penjagaan yang ketat, sukar dipercaya bahwa sepanjang masa kecil saya (dan sampai sekarang) saya belum pernah sekalipun terlibat dalam perkelahian fisik. Jadi masa kecil saya lebih terkesan sebagai anak baik dan manis, namun tidak manja walaupun agak dimanjakan.
Meninggalnya ayah dalam tahun 1956, menyebabkan keluarga agak tercerai berai. Mak beserta dua abang pindah ke Plaju. Beberapa saudara bekerja di Caltex dan sudah menetap di Rumbai, dan ada juga yang tinggal di Jakarta. Hanya saya dan abang nomor empat yang masih bertahan di Bangka. Saya baru hijrah ke Jakarta setelah lulus dari SMP pada tahun 1958, menyusuli hampir semua keluarga yang sudah berkumpul kembali di Jakarta. Baru 10 tahun kemudian, saya kembali menjejakkan kaki di Bangka. Pada waktu itu, sebagai Systems Analist PT IBM Indonesia melakukan survai untuk upaya komputerisasi Tambang Timah Bangka. Karena saya merantau ke Jawa sini sekitar 50 tahun dari umur, saya sering dianggap sebagai putera-daerah yang rendah kadar kedaerahannya.
Dengan angka kelulusan yang baik, saya diterima masuk sekolah SMA III Setiabudi, yang kemudian beralih menjadi SMA Teladan. Sekolah ini terbilang elit, dan pertama kalinya diberlakukan Pemerintah sebagai sekolah dengan ujian sendiri. Selama sekolah di sini, saya tercatat sebagai murid yang cukup dikenal. Dipercaya menjadi ketua kelas dan dengan prestasi yang selalu mendapat nomor, saya bertindak sebagai mentor untuk berbagai pelajaran bagi teman-teman. Partisipasi sebagai pemain utama tim basket Teladan Tornado, menjadikan masa di sekolah Setiabudi cukup berkesan.
Sebagai lulusan peringkat dua jurusan Pasti – Alam, upaya masuk ke perguruan tinggi bukanlah hal yang menyukarkan. Saya ikut daftar dan tes di lima perguruan tinggi dan diterima di kelimanya. Namun akhirnya saya memilih ITB karena sebagian besar teman baik saya juga lolos ke ITB. Sebenarnya saya ditawari untuk mengikuti pendidikan di Australia memanfaatkan program Colombo Plan pada waktu itu. Dengan koneksi kakak saya Norma yang waktu itu bekerja di Sekretariat Negara dan menjadi sekretaris pribadi Bung Karno, dengan mudah bisa saja melakukan KKN. Tapi akhirnya saya lebih memilih tetap sekolah di Bandung, salah satu sebabnya mungkin karena sudah merasa betah bergaul dengan mojang-mojang Bandung.
Mengambil jurusan Elektroteknik dengan kejuruan Arus Lemah, saya akui tidak optimal belajar sebagai mahasiswa. Selain kegiatan organisasi PMB yang penuh hura-hura, suasana orang muda yang banyak pesta dan canda memang cukup menggoda. Demikian pula berbagai kegiatan kampus di bidang olahraga dan kewiraan memang sedikit banyaknya mengganggu konsentrasi belajar. Namun berkat partisipasi dalam kewiraan yakni sebagai anggota Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon-I ITB saya bisa berkenalan dengan anggota mahasiswi lainnya, yang kemudian menjadi sang nyonya. Setelah usai pergerakan mahasiswa melawan Orde Lama, praktis studi kami agak terlunta-lunta. Pada waktu teman-teman sesama demonstran larut dalam bermain tennis, bridge dan karate untuk mengisi waktu luang, saya tergerak untuk mengambil kerja-praktek di Jakarta. Karena kejuruan Arus Lemah pada waktu itu bersinggungan dengan bidang Kontrol, saya pernah dapat tugas dalam suatu tim untuk merancang komputerisasi kantin ITB oleh dosen Ir. Reka Rio. Proyek itu sendiri gagal, tetapi minat saya terhadap bidang komputerisasi membawa saya untuk kerja-praktek di perusahaan IBM Indonesia. Saya memang diejek teman, kok mau-maunya praktek di perusahaan cash-register, demikian istilah teman-teman menyebut perangkat komputer. ALLAH Karim, selain kerja-praktek selesai, tugas akhir skripsi juga rampung, sehingga saya bisa ujian akhir. Saya juga ditawarkan oleh IBM Indonesia menjadi pegawainya. Jadi kuliah di ITB saya tempuh mulai tahun 1961 sampai dengan akhir 1966, walaupun baru diwisuda pada tahun 1967.
Semasa bekeja sebagai IBM Employee inilah saya melangsungkan penikahan dengan pacar terakhir saya : Dra. Yati Ruswiyati Rusadi Wiradiningrat. Bujang dari Bangka ketemu dengan mojang Priangan. Perjalanan hidup penuh lika-liku pun berlangsung. Mulai dengan tinggal di rumah Mertua Indah, sebagai kontraktor, karena setiap tahun ngontrak atau memperpanjang kontrak rumah, sampai dengan akhirnya punya rumah sendiri. Sukar dipercaya, dihitung-hitung saya pindah rumah sampai tujuh kali. Rumah yang pertama dibangun sendiri berada di Kalibata Utara, kemudian pindah ke Villa Cinere Mas, kembali ke Kalibata Utara, Villa Cinere Mas kembali, lalu ke Pondok Indah, ke Kebayoran Baru, sempat di Kahfi I, dan terakhir di Taman Lebak Bulus yang sekarang. Kawan-kawan banyak yang mengeluh kalau kirim undangan kok sering dikembalikan atau tidak sampai tujuan. Secara enteng saya selalu berseloroh bahwa itu dapat disebabkan oleh dua hal, saya “orang kaya” yang kerjanya ganti-ganti rumah, atau dikejar-kejar oleh debt-collector karena terlibat hutang. Sebenarnya yang jelas hal ini terkait dengan profesi sang nyonya sebagai interior-designer. Jika ada rumah yang mempunyai prospek baik dan harga miring maka kami beli rumah tersebut dengan menjual rumah yang ditinggali. Setelah direnovasi dan ada orang yang mau beli dengan harga lebih dan ada rumah “bagus” yang akan dibeli maka terjadi lagi transaksi berganda, jual rumah yang sudah bagus dan beli rumah butut.
Dengan sebelas bersaudara, dapat dipastikan keluarga Musa menjadi suatu keluarga besar. Keponakan saya saja lebih dari 50 orang, terbilang cucu sudah 70 orang, malahan pada derajat cicit mungkin sudah lebih dari 10 orang. Dari sebelas bersaudara, tujuh orang sudah meninggal dunia, sehingga kami tinggal berempat saja. Dua orang yang paling sulung meninggal semasa bayi, demikian pula yang nomor lima. Dari yang hidupnya sampai dewasa dan tua, yang meninggal berturut-turut nomor empat yakni abang Ishak Musa, nomor tiga abang Ismail Musa, nomor sembilan abang Sofyan Musa dan nomor tujuh abang Iskandar Musa. Jadi yang masih hidup tinggal kakak Norma Musa alias Ibu Nindyo Kirono Hamengkubuwono IX, nomor enam dan satu-satunya yang wanita, nomor delapan abang Imran Musa, nomor sepuluh abang Ichsan Musa, dan saya yang nomor sebelas.
Dari saya sendiri anggota keluarga tambahan pun bermunculan. Anak tertua Reza Musa lahir pada tahun 1968, semasa saya bekerja di IBM dan sedang tugas ke Rumbai CPI. Anak yang kedua Armand Musa lahir pada tahun 1970, juga waktu masih di IBM. Sedangkan anak ketiga Meliza Musa lahir pada tahun 1972 semasa menjadi pimpinan PT PANSYSTEMS, dan sedang tugas studi di Perancis. Dari ketiga anak ini saya baru punya tiga orang cucu, yakni Nadine, Omar dan Audry. Cucu keempat insyaallah akan lahir awal tahun depan. Dan jadilah saya sekarang sebagai seorang kakek, yang kalau dalam logat orang Bangka disebut Atok. Yah, kalau dulu menjadi cucu kesayangan, sekarang mudah-mudahan saya bisa berperan sebagai seorang atok yang disayangi oleh cucu-cucunya.
No comments:
Post a Comment