Ya ALLAH, berilah kemanfaatan bagiku ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku dan ajari aku ilmu yang bermanfaat serta tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)
Si Ichjar itu kerjanya sekolah melulu, tapi sebenarnya bukan mau cari ilmu, melainkan biar dapat “exit-permit” dari orang rumahnya. Begitu lazimnya olok-olokan yang sering saya dengar dari kawan-kawan. Terus terang ada benarnya juga sedikit sih, tetapi yang sebenarnya memang saya termasuk manusia yang ingin mengetahui banyak hal. Tentu saja hal-hal yang memberikan kemaslahatan. Saya berpandangan bahwa ilmu apa saja yang kita pelajari pasti ada gunanya, setidaknya untuk kita sampaikan kembali kepada orang lain. Dan bukankah agama kita juga mengajarkan bahwa salah satu sumber pahala yang tetap mengalir walaupun kita sudah wassalam adalah ilmu yang bermaslahat yang dimanfaatkan oleh orang banyak?
Gelar pendidikan formal perguruan tinggi yang pertama saya raih adalah Insinyur ITB jurusan Elektroteknik. Walaupun kurang spektakuler, kuliah S-1 di ITB ini saya selesaikan dalam kurun waktu 5-6 tahun. Selesai dalam 5 tahun tapi diwisuda di tahun keenam, bersamaan dengan Muslimin Nasution salah satunya. Gara-gara selalu jeblok dalam mata kuliah Teori Fungsi, tingkat sarjana muda saya tertunda dan diraih bersamaan dengan tingkat sarjana satu setelah 3.5 tahun kuliah. Demonstrasi mahasiswa pada tahun 1965-1966 menyebabkan kegiatan kampus praktis lumpuh. Untung saja saya sudah menyelesaikan hampir semua mata kuliah, kecuali tugas kerja praktek lapangan. Berbeda dengan rekan-rekan Elektro yang umumnya praktek di PLN untuk Arus Kuat dan di PTT untuk Arus Lemah, saya yang menjadi mahasiswa kerja praktek yang pertama di perwakilan perusahaan komputer dunia yakni IBM Indonesia. Sambil kerja praktek saya pun menyiapkan skripsi tentang komputerisasi administrasi kemahasiswaan ITB. Sistem yang saya rancang itu kemudian diimplementasikan di ITB, sehingga Nomor Induk Mahasiswa yang digunakan di seputar tahun 1968 adalah ciptaan saya. Untuk pengolahannya ITB masih menumpang pakai komputer IBM 1401 yang terpasang di Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Pada masa itu ujian sarjana dilakukan secara terbuka dimana selain dosen juga para mahasiswa berhak mengajukan pertanyaan. Walaupun saya sudah menyiapkan kawan-kawan yang khusus akan menjadi penanya “bayaran”, namun tetap saja kecolongan dengan beberapa “musuh” yang ingin menjatuhkan. Tetapi syukurlah saya dapat mengatasinya dengan baik, sehingga gelar Insinyur bisa disandang : Ir. Ichjar Musa !
Pendidikan formal strata-1 yang kedua adalah di Extension Fakultas Ekonomi UI yang saya mulai pada tahun 1972. Pada waktu itu saya memang menjadi dosen luar biasa yang mengajar Teknik Komputer di Fakultas Tehnik UI. Saya masih ingat salah satu mahasiswa Tehnik yang pernah jadi mahasiswa saya adalah pak Akbar Tanjung. Di kampus Salemba itu saya sering bertemu dengan bekas senior ITB dan PMB yang kuliah Ekonomi, antara lain pak Qoyum, Rohali Sani dan Surghani. Mereka inilah yang mengajak saya untuk gabung jadi mahasiswa Extension FE-UI tersebut. Dalam profesi saya sebagai analis sistem informasi, memang saya selalu bersinggungan dengan cabang ilmu kedisiplinan Ekonomi seperti akuntansi, manajemen keuangan, manajemen SDM, manajemen produksi dan pemasaran. Singkatnya, saya tertarik untuk mengetahui ilmu aslinya. Karena sebagai seorang sarjana S-1 kami bisa langsung ke tingkat dua, selanjutnya saya kebut jenjang sarjana muda dan sarjana satu dalam waktu satu tahun saja. Tapi oleh satu dan lain hal saya agak lalai menyelesaikan skripsi sampai dengan waktu yang lama. Sebenarnya sudah berkali-kali saya mencoba membuat skripsi, tetapi setiap kali hampir rampung saya merasa skripsi saya kurang bermutu dan lalu ganti topik yang lain. “Sudahlah, asal jadi saja, tak usah bikin masterpiece”, demikian nasehat pak Sunyoto Subekti pembimbing saya. Setelah lima kali tidak rampung juga, semangat untuk menyelesaikan sekolah jadi kendor. Sementara itu beredar issue bahwa skripsi bisa diganti dengan dua mata kuliah tambahan. Setelah ditunggu cukup lama ternyata issue itu masih berupa wacana yang belum segera diimplimentasikan. Untuk waktu yang panjang saya terpaksa menyandang gelar SEKSI alias Sarjana Ekonomi Kurang Skripsi. Saya praktis sudah melupakan skripsi ini sampai pada saat saya diangkat menjadi Staf Ahli Menmuda UP3DN. Di sini saya ketemu kembali dengan kawan kuliah yakni pak Kumhal Djamil dan pak Qoyum. Memanfaatkan jejaring yang berbau KKN, saya dan pak Kumhal mengambil skripsi tentang pabrik baja Krakatau Steel. Kalau mahasiswa biasa mungkin harus berpeluh keringat untuk mencari data, kami sebagai tamu Direksi tinggal menunggu di mess Direksi dan semua data dibawa oleh pejabat perusahaan ke situ. Sayangnya, skripsi saya tentang Struktur Biaya PT Krakatau Steel yang sudah 90 % rampung terhapus dari rekaman komputer saya sedangkan back-up disket juga rusak. Justeru pak Kumhal yang sama-sama ke Krakatau Steel dan pak Qoyum yang sering tanya tentang MDA malah lebih duluan lulus. Akhirnya, suatu saat pada tahun1986 saya dipanggil pak Ginandjar Kartasasmita, bos saya yang Menteri Muda UP3DN. Beliau bilang : “Yar, you ini katanya pinter, tapi kok sekolahnya nggak klar-klar. Masak kalah ama Kumhal dan Qoyum?”. Bersamaan pula waktu itu saya mendapat ancaman akan didrop-out oleh UI jika dalam waktu 3 bulan tidak menyelesaikan skripsi. Waktu itu mulai masuk bulan Ramadhan. Saya susun kembali skripsi saya setiap habis sahur dengan target minimum 10 lembar sehari. Walhasil dalam waktu satu bulan saya rampungkan skripsi setebal 300 lembar. Komentar pembimbing : “ini sih bukan skripsi tapi disertasi”. Saya diuji oleh pembimbing pak Sunyoto Subekti, pak Nasrudin Sumintapura dan pak Bambang Subianto. Opo ora hebat, saya diwisuda sebagai Sarjana Ekonomi setelah 16 tahun kuliah. Panggilan pun berubah jadi : Ir. Ichjar Musa, S.E. !
Waktu UI membuka kelas program pasca untuk strata-2 Magister Manajemen, saya ikut daftar untuk tes masuk. Tadinya hanya sekedar ikut-ikutan tes masuk, mengingat biaya kuliahnya yang relatif mahal. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman tentu saja saya berhasil lolos. Tinggal bagaimana caranya saya harus bisa meyakinkan sang nyonya mengenai manfaat ikut sekolah lagi. Berhasil meyakinkan orang rumah, tantangan ikut program MM ini ternyata berat sekali. Dengan program yang terstruktur 4 semester, praktis tidak ada waktu luang dan hari libur. Tugas baca buku, pembuatan paper dan PR yang rumit menyita waktu dan pikiran. Saya jadi bingung jika kemudian hari ada orang yang menyandang gelar MM tapi hanya kuliah 6 bulan dan tak kelihatan pernah bikin paper. Mungkin MM nya berarti Manusia Millenium bukannya Magister Manajemen. Sebagian besar mata kuliah saya selesaikan dengan straight-A. Tapi ada juga hal yang lucu, yakni untuk mata kuliah MIS saya diminta oleh dosen untuk tidak boleh bertanya dan atau membuat komentar. Mereka paham bahwa saya tergolong “dukun” di bidang ini. Sesuai jadwal, dengan mengambil tesis tentang MIS di lingkungan PT Pelindo II bersama
dengan pak Setiohari, saya menyelesaikan program pasca sarjana MM angkatan I UI ini dan saya disapa sebagai : Ir. Ichjar Musa, S.E., M.M. !
Sebagai Staf Ahli Menteri Perhubungan dan kemudian sebagai Kepala Pusat Data dan Informasi, saya banyak berhubungan dengan ITB khususnya Jurusan Planologi yang menyelenggarakan berbagai studi antara lain untuk survai asal-tujuan (O/D survey). Disinilah saya mengenal pak Kusbiantoro, yang mengajak saya untuk mengambil S-3 di Planologi ITB, sebagaimana halnya senior saya pak Giri Suseno yang sudah menjalaninya. Singkat cerita, pada tahun 1998 tersebut saya ikut saringan program doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) bersama dengan beberapa rekan lain dari BPPT dan Perhubungan sendiri. Dalam waktu yang bersamaan saya juga terpilih untuk mengikuti program doktor di UI, bersama dengan lima rekan dari program MM yang lulus dengan nilai kumulatif di atas 3.50 dan bernilai A untuk mata kuliah tertentu. Jadi saya sempat mengambil program S-3 di dua perguruan tinggi. Setelah setahun menjalani program ganda ini dan setelah lulus dari beberapa kuliah umum di UI akhirnya saya memutuskan untuk konsentrasi pada program di ITB saja. Pasalnya karena program UI mensyaratkan harus ikut beberapa kuliah secara penuh di dalam prime-time pukul 09.00 sampai 12.00. Hal ini sukar saya luangkan karena jabatan saya juga praktis penuh-waktu. Di ITB sendiri walaupun tidak ada kuliah wajib namun tatap-muka, konsultasi dan seminar yang diselenggarakan di Bandung dan Jakarta tetap saja lumayan berat. Apalagi saya yang datang dari kedisiplinan hard-technology agak canggung berhadapan dengan disiplin PWK yang tergolong soft-technology. Demikian pula kiat dalam penelitian program doktor yang berangkat dari kajian fenomenon sebagai simpangan antara das Sollen dengan das Sein memerlukan pergeseran atas pola-pikir. Setelah menyelesaikan ujian komprehensif, penyusunan Usulan Penelitian (UP) merupakan beban utama. Setelah berkali-kali melakukan perubahan, perombakan dan modifikasi, akhirnya UP yang saya susun disetujui oleh promotor Prof. Sugianto (alm). Disertasi yang tak knjung selesai ini rupanya didengar juga oleh bos saya pak Hartarto. Beliau menanyakan kok studi doktornya tak rampung-rampung. Setengah berseloroh saya jelaskan bahwa memang S-3 ITB itu jauh lebih ketat. Dan yang saya selesaikan ini doktor betulan, bukan doktor Honoris Causa.. “Ah, kamu bisa saja bikin alasan “ gumam beliau, yang memang sudah menyandang 7 gelar doktor HC. Malang tak bisa dihadang, dalam kunjungan kerjanya ke Papua mendadak sang promotor meninggal dunia. Tidak adanya professor di PWK untk menggantikan Prof. Sugianto menyebabkan Senat ITB mengeluarkan maklumat bahwa kami boleh ganti promotor dengan professor ITB jurusan apapun. Pilihan saya jatuh pada Prof. Kudrat Sumintapura (alm), yang merupakan pembimbing saya waktu di S-1 dulu. Karena beliau Profesor jurusan Elektro maka praktis saya harus menjelaskan kembali UP yang sudah disetujui dulu. Penyelesaian disertasi ini memerlukan waktu tambahan sekitar dua tahun, yakni sepuluh bulan untuk penyelarasan UP, enam bulan untuk studi lapangan, dua bulan sakit typhus dan enam bulan untuk mengolah data serta menulis disertasi. Dengan topik tentang faktor-faktor lokasi yang mempengaruhi pemilihan kawasan industri, studi lapangan mencakup penghimpunan data untuk 96 faktor lokasi dari 132 perusahaan dari 14 kawasan industri yang tersebar di 7 propinsi. Sedikit ketegangan terjadi menjelang ujian terbuka, karena promotor yakni Prof. Budhiati Tjahyati (yang berganti posisi dengan ko-promotor Prof. Kudrat S) sedang berada di India dalam menjalankan tugas sebagai Deputi Meneg Kimpraswil. Mengingat ITB telah mencantumkan jumlah doktor yang akan diwisuda maka bu Yati diminta segera kembali walaupun tugasnya belum rampung di India. Saya pun jadi ikut wisuda ITB yang diselenggarakan pada awal tahun 2000 sebagai doktor di bidang Ilmu Teknik. Dengan demikian nama saya menjadi : Dr. Ir. Ichjar Musa, S.E., M.M. !
Dalam keseharian, baik sebagai analis sistem, konsultan, auditor, dosen, maupun sebagai pejabat pemerintah, saya sering berhadapan dengan bidang hukum. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan dalam bidang hukum ini kadang kala menyukarkan dan menyudutkan kita pada posisi yang lemah. Masalah hukumnya bukanlah bidang pidana tetapi lebih banyak bidang perdata, dan lebih khusus lagi bidang hukum bisnis. Sebelum program Magister Hukum Bisnis diperkenalkan, saya pernah menghubungi sejumlah perguruan tinggi menanyakan kemungkinan penyelenggaraan program strata-2 Hukum untuk non-SH. Pada waktu itu hanya UNDIP yang memberikan tanggapan, bersedia menyelenggarakan program tersebut dengan syarat tersedia minimum 20 peserta program. Karena tak mampu mengumpulkan jumlah tersebut maka gagasan program tersebut batal. Baru dalam tahun 2002 UNPAD menyelenggarakan kelas eksekutif program Magister Hukum Bisnis di Jakarta. Sayang sekali saya terlambat mendaftar pada angkatan I sehingga baru pada angkatan II saya mulai kuliah lagi. Ini pun dengan susah payah karena uang kuliahnya walaupun bisa dibayar cicil tetap saja tergolong mahal. Petugas administrasi semula agak ragu apakah saya ini mau ikut kuliah atau ngasi kuliah, karena saya memang tercatat sebagai dosen di Pasca Sarjana UNPAD pada Program Studi Kebijakan Publik. Sebagian besar dosen cukup saya kenal, seperti Prof. Mieke Komar, Prof. Heru Soepraptomo (almarhum), pak Jusuf Anwar, pak Sofyan Djalil dan Prof. Ramli. Tapi ada kurang enaknya, jika hasil ujian saya diberi nilai A maka teman-teman nyindir bahwa itu gara-gara KKN. Sebaliknya kalau jeblok maka mereka bilang saya bikin malu sebagai teman dosen. Jadi posisi saya jadi serba susahlah. Sebagai suatu program pendidikan terstruktur, semua mata kuliah rampung saya ikuti sesuai dengan jadwal yakni 4 semester, dengan hutang paper sebanyak 3 judul. Namun kesibukan dalam pekerjaan menyebabkan saya tidak maju-maju dengan UP, apalagi penulisan tesis. Ketika terbit edaran bahwa jika UP tidak rampung dalam 7 semester dan tesis dalam 10 semester akan diberlakukan pembekuan status kemahasiswaan (artinya harus registrasi-ulang), baru saya tergerak kembali. Dengan mengambil judul tesis Penerapan Good Corporate Governance Pada BUMN dan Peranan Audit Sistem Informasi, baik UP maupun tesis saya selesaikan dalam waktu 3 bulan. Pada tanggal 3 Juni 2006 saya pun ikut dalam barisan mahasiswa yang diwisuda oleh Rektor UNPAD Prof. Himendra, yang dulunya sebangku dengan saya di SMA Teladan. Dengan selesainya program ini nama lengkap saya menjadi : Dr. Ir. Ichjar Musa, S.E., M.M., M.H.
Banyak teman yang ingin menebak gelar apa lagi yang akan saya raih. Beberapa menganjurkan saya untuk mengambil S-3 Hukum, ada juga yang sarankan ambil S-2 Filsafat saja, yang merupakan ibunya semua ilmu. Dengan santai saya selalu menyampaikan bahwa saya sedang menantikan gelar yang terakhir. Dan yang satu ini tak perlu kuliah, bikin tesis atau disertasi, yakni ALM alias Almarhum. Tapi jangan cepat-cepat ah, saya belum memerlukannya kok, he….he….
Si Ichjar itu kerjanya sekolah melulu, tapi sebenarnya bukan mau cari ilmu, melainkan biar dapat “exit-permit” dari orang rumahnya. Begitu lazimnya olok-olokan yang sering saya dengar dari kawan-kawan. Terus terang ada benarnya juga sedikit sih, tetapi yang sebenarnya memang saya termasuk manusia yang ingin mengetahui banyak hal. Tentu saja hal-hal yang memberikan kemaslahatan. Saya berpandangan bahwa ilmu apa saja yang kita pelajari pasti ada gunanya, setidaknya untuk kita sampaikan kembali kepada orang lain. Dan bukankah agama kita juga mengajarkan bahwa salah satu sumber pahala yang tetap mengalir walaupun kita sudah wassalam adalah ilmu yang bermaslahat yang dimanfaatkan oleh orang banyak?
Gelar pendidikan formal perguruan tinggi yang pertama saya raih adalah Insinyur ITB jurusan Elektroteknik. Walaupun kurang spektakuler, kuliah S-1 di ITB ini saya selesaikan dalam kurun waktu 5-6 tahun. Selesai dalam 5 tahun tapi diwisuda di tahun keenam, bersamaan dengan Muslimin Nasution salah satunya. Gara-gara selalu jeblok dalam mata kuliah Teori Fungsi, tingkat sarjana muda saya tertunda dan diraih bersamaan dengan tingkat sarjana satu setelah 3.5 tahun kuliah. Demonstrasi mahasiswa pada tahun 1965-1966 menyebabkan kegiatan kampus praktis lumpuh. Untung saja saya sudah menyelesaikan hampir semua mata kuliah, kecuali tugas kerja praktek lapangan. Berbeda dengan rekan-rekan Elektro yang umumnya praktek di PLN untuk Arus Kuat dan di PTT untuk Arus Lemah, saya yang menjadi mahasiswa kerja praktek yang pertama di perwakilan perusahaan komputer dunia yakni IBM Indonesia. Sambil kerja praktek saya pun menyiapkan skripsi tentang komputerisasi administrasi kemahasiswaan ITB. Sistem yang saya rancang itu kemudian diimplementasikan di ITB, sehingga Nomor Induk Mahasiswa yang digunakan di seputar tahun 1968 adalah ciptaan saya. Untuk pengolahannya ITB masih menumpang pakai komputer IBM 1401 yang terpasang di Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Pada masa itu ujian sarjana dilakukan secara terbuka dimana selain dosen juga para mahasiswa berhak mengajukan pertanyaan. Walaupun saya sudah menyiapkan kawan-kawan yang khusus akan menjadi penanya “bayaran”, namun tetap saja kecolongan dengan beberapa “musuh” yang ingin menjatuhkan. Tetapi syukurlah saya dapat mengatasinya dengan baik, sehingga gelar Insinyur bisa disandang : Ir. Ichjar Musa !
Pendidikan formal strata-1 yang kedua adalah di Extension Fakultas Ekonomi UI yang saya mulai pada tahun 1972. Pada waktu itu saya memang menjadi dosen luar biasa yang mengajar Teknik Komputer di Fakultas Tehnik UI. Saya masih ingat salah satu mahasiswa Tehnik yang pernah jadi mahasiswa saya adalah pak Akbar Tanjung. Di kampus Salemba itu saya sering bertemu dengan bekas senior ITB dan PMB yang kuliah Ekonomi, antara lain pak Qoyum, Rohali Sani dan Surghani. Mereka inilah yang mengajak saya untuk gabung jadi mahasiswa Extension FE-UI tersebut. Dalam profesi saya sebagai analis sistem informasi, memang saya selalu bersinggungan dengan cabang ilmu kedisiplinan Ekonomi seperti akuntansi, manajemen keuangan, manajemen SDM, manajemen produksi dan pemasaran. Singkatnya, saya tertarik untuk mengetahui ilmu aslinya. Karena sebagai seorang sarjana S-1 kami bisa langsung ke tingkat dua, selanjutnya saya kebut jenjang sarjana muda dan sarjana satu dalam waktu satu tahun saja. Tapi oleh satu dan lain hal saya agak lalai menyelesaikan skripsi sampai dengan waktu yang lama. Sebenarnya sudah berkali-kali saya mencoba membuat skripsi, tetapi setiap kali hampir rampung saya merasa skripsi saya kurang bermutu dan lalu ganti topik yang lain. “Sudahlah, asal jadi saja, tak usah bikin masterpiece”, demikian nasehat pak Sunyoto Subekti pembimbing saya. Setelah lima kali tidak rampung juga, semangat untuk menyelesaikan sekolah jadi kendor. Sementara itu beredar issue bahwa skripsi bisa diganti dengan dua mata kuliah tambahan. Setelah ditunggu cukup lama ternyata issue itu masih berupa wacana yang belum segera diimplimentasikan. Untuk waktu yang panjang saya terpaksa menyandang gelar SEKSI alias Sarjana Ekonomi Kurang Skripsi. Saya praktis sudah melupakan skripsi ini sampai pada saat saya diangkat menjadi Staf Ahli Menmuda UP3DN. Di sini saya ketemu kembali dengan kawan kuliah yakni pak Kumhal Djamil dan pak Qoyum. Memanfaatkan jejaring yang berbau KKN, saya dan pak Kumhal mengambil skripsi tentang pabrik baja Krakatau Steel. Kalau mahasiswa biasa mungkin harus berpeluh keringat untuk mencari data, kami sebagai tamu Direksi tinggal menunggu di mess Direksi dan semua data dibawa oleh pejabat perusahaan ke situ. Sayangnya, skripsi saya tentang Struktur Biaya PT Krakatau Steel yang sudah 90 % rampung terhapus dari rekaman komputer saya sedangkan back-up disket juga rusak. Justeru pak Kumhal yang sama-sama ke Krakatau Steel dan pak Qoyum yang sering tanya tentang MDA malah lebih duluan lulus. Akhirnya, suatu saat pada tahun1986 saya dipanggil pak Ginandjar Kartasasmita, bos saya yang Menteri Muda UP3DN. Beliau bilang : “Yar, you ini katanya pinter, tapi kok sekolahnya nggak klar-klar. Masak kalah ama Kumhal dan Qoyum?”. Bersamaan pula waktu itu saya mendapat ancaman akan didrop-out oleh UI jika dalam waktu 3 bulan tidak menyelesaikan skripsi. Waktu itu mulai masuk bulan Ramadhan. Saya susun kembali skripsi saya setiap habis sahur dengan target minimum 10 lembar sehari. Walhasil dalam waktu satu bulan saya rampungkan skripsi setebal 300 lembar. Komentar pembimbing : “ini sih bukan skripsi tapi disertasi”. Saya diuji oleh pembimbing pak Sunyoto Subekti, pak Nasrudin Sumintapura dan pak Bambang Subianto. Opo ora hebat, saya diwisuda sebagai Sarjana Ekonomi setelah 16 tahun kuliah. Panggilan pun berubah jadi : Ir. Ichjar Musa, S.E. !
Waktu UI membuka kelas program pasca untuk strata-2 Magister Manajemen, saya ikut daftar untuk tes masuk. Tadinya hanya sekedar ikut-ikutan tes masuk, mengingat biaya kuliahnya yang relatif mahal. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman tentu saja saya berhasil lolos. Tinggal bagaimana caranya saya harus bisa meyakinkan sang nyonya mengenai manfaat ikut sekolah lagi. Berhasil meyakinkan orang rumah, tantangan ikut program MM ini ternyata berat sekali. Dengan program yang terstruktur 4 semester, praktis tidak ada waktu luang dan hari libur. Tugas baca buku, pembuatan paper dan PR yang rumit menyita waktu dan pikiran. Saya jadi bingung jika kemudian hari ada orang yang menyandang gelar MM tapi hanya kuliah 6 bulan dan tak kelihatan pernah bikin paper. Mungkin MM nya berarti Manusia Millenium bukannya Magister Manajemen. Sebagian besar mata kuliah saya selesaikan dengan straight-A. Tapi ada juga hal yang lucu, yakni untuk mata kuliah MIS saya diminta oleh dosen untuk tidak boleh bertanya dan atau membuat komentar. Mereka paham bahwa saya tergolong “dukun” di bidang ini. Sesuai jadwal, dengan mengambil tesis tentang MIS di lingkungan PT Pelindo II bersama
dengan pak Setiohari, saya menyelesaikan program pasca sarjana MM angkatan I UI ini dan saya disapa sebagai : Ir. Ichjar Musa, S.E., M.M. !
Sebagai Staf Ahli Menteri Perhubungan dan kemudian sebagai Kepala Pusat Data dan Informasi, saya banyak berhubungan dengan ITB khususnya Jurusan Planologi yang menyelenggarakan berbagai studi antara lain untuk survai asal-tujuan (O/D survey). Disinilah saya mengenal pak Kusbiantoro, yang mengajak saya untuk mengambil S-3 di Planologi ITB, sebagaimana halnya senior saya pak Giri Suseno yang sudah menjalaninya. Singkat cerita, pada tahun 1998 tersebut saya ikut saringan program doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) bersama dengan beberapa rekan lain dari BPPT dan Perhubungan sendiri. Dalam waktu yang bersamaan saya juga terpilih untuk mengikuti program doktor di UI, bersama dengan lima rekan dari program MM yang lulus dengan nilai kumulatif di atas 3.50 dan bernilai A untuk mata kuliah tertentu. Jadi saya sempat mengambil program S-3 di dua perguruan tinggi. Setelah setahun menjalani program ganda ini dan setelah lulus dari beberapa kuliah umum di UI akhirnya saya memutuskan untuk konsentrasi pada program di ITB saja. Pasalnya karena program UI mensyaratkan harus ikut beberapa kuliah secara penuh di dalam prime-time pukul 09.00 sampai 12.00. Hal ini sukar saya luangkan karena jabatan saya juga praktis penuh-waktu. Di ITB sendiri walaupun tidak ada kuliah wajib namun tatap-muka, konsultasi dan seminar yang diselenggarakan di Bandung dan Jakarta tetap saja lumayan berat. Apalagi saya yang datang dari kedisiplinan hard-technology agak canggung berhadapan dengan disiplin PWK yang tergolong soft-technology. Demikian pula kiat dalam penelitian program doktor yang berangkat dari kajian fenomenon sebagai simpangan antara das Sollen dengan das Sein memerlukan pergeseran atas pola-pikir. Setelah menyelesaikan ujian komprehensif, penyusunan Usulan Penelitian (UP) merupakan beban utama. Setelah berkali-kali melakukan perubahan, perombakan dan modifikasi, akhirnya UP yang saya susun disetujui oleh promotor Prof. Sugianto (alm). Disertasi yang tak knjung selesai ini rupanya didengar juga oleh bos saya pak Hartarto. Beliau menanyakan kok studi doktornya tak rampung-rampung. Setengah berseloroh saya jelaskan bahwa memang S-3 ITB itu jauh lebih ketat. Dan yang saya selesaikan ini doktor betulan, bukan doktor Honoris Causa.. “Ah, kamu bisa saja bikin alasan “ gumam beliau, yang memang sudah menyandang 7 gelar doktor HC. Malang tak bisa dihadang, dalam kunjungan kerjanya ke Papua mendadak sang promotor meninggal dunia. Tidak adanya professor di PWK untk menggantikan Prof. Sugianto menyebabkan Senat ITB mengeluarkan maklumat bahwa kami boleh ganti promotor dengan professor ITB jurusan apapun. Pilihan saya jatuh pada Prof. Kudrat Sumintapura (alm), yang merupakan pembimbing saya waktu di S-1 dulu. Karena beliau Profesor jurusan Elektro maka praktis saya harus menjelaskan kembali UP yang sudah disetujui dulu. Penyelesaian disertasi ini memerlukan waktu tambahan sekitar dua tahun, yakni sepuluh bulan untuk penyelarasan UP, enam bulan untuk studi lapangan, dua bulan sakit typhus dan enam bulan untuk mengolah data serta menulis disertasi. Dengan topik tentang faktor-faktor lokasi yang mempengaruhi pemilihan kawasan industri, studi lapangan mencakup penghimpunan data untuk 96 faktor lokasi dari 132 perusahaan dari 14 kawasan industri yang tersebar di 7 propinsi. Sedikit ketegangan terjadi menjelang ujian terbuka, karena promotor yakni Prof. Budhiati Tjahyati (yang berganti posisi dengan ko-promotor Prof. Kudrat S) sedang berada di India dalam menjalankan tugas sebagai Deputi Meneg Kimpraswil. Mengingat ITB telah mencantumkan jumlah doktor yang akan diwisuda maka bu Yati diminta segera kembali walaupun tugasnya belum rampung di India. Saya pun jadi ikut wisuda ITB yang diselenggarakan pada awal tahun 2000 sebagai doktor di bidang Ilmu Teknik. Dengan demikian nama saya menjadi : Dr. Ir. Ichjar Musa, S.E., M.M. !
Dalam keseharian, baik sebagai analis sistem, konsultan, auditor, dosen, maupun sebagai pejabat pemerintah, saya sering berhadapan dengan bidang hukum. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan dalam bidang hukum ini kadang kala menyukarkan dan menyudutkan kita pada posisi yang lemah. Masalah hukumnya bukanlah bidang pidana tetapi lebih banyak bidang perdata, dan lebih khusus lagi bidang hukum bisnis. Sebelum program Magister Hukum Bisnis diperkenalkan, saya pernah menghubungi sejumlah perguruan tinggi menanyakan kemungkinan penyelenggaraan program strata-2 Hukum untuk non-SH. Pada waktu itu hanya UNDIP yang memberikan tanggapan, bersedia menyelenggarakan program tersebut dengan syarat tersedia minimum 20 peserta program. Karena tak mampu mengumpulkan jumlah tersebut maka gagasan program tersebut batal. Baru dalam tahun 2002 UNPAD menyelenggarakan kelas eksekutif program Magister Hukum Bisnis di Jakarta. Sayang sekali saya terlambat mendaftar pada angkatan I sehingga baru pada angkatan II saya mulai kuliah lagi. Ini pun dengan susah payah karena uang kuliahnya walaupun bisa dibayar cicil tetap saja tergolong mahal. Petugas administrasi semula agak ragu apakah saya ini mau ikut kuliah atau ngasi kuliah, karena saya memang tercatat sebagai dosen di Pasca Sarjana UNPAD pada Program Studi Kebijakan Publik. Sebagian besar dosen cukup saya kenal, seperti Prof. Mieke Komar, Prof. Heru Soepraptomo (almarhum), pak Jusuf Anwar, pak Sofyan Djalil dan Prof. Ramli. Tapi ada kurang enaknya, jika hasil ujian saya diberi nilai A maka teman-teman nyindir bahwa itu gara-gara KKN. Sebaliknya kalau jeblok maka mereka bilang saya bikin malu sebagai teman dosen. Jadi posisi saya jadi serba susahlah. Sebagai suatu program pendidikan terstruktur, semua mata kuliah rampung saya ikuti sesuai dengan jadwal yakni 4 semester, dengan hutang paper sebanyak 3 judul. Namun kesibukan dalam pekerjaan menyebabkan saya tidak maju-maju dengan UP, apalagi penulisan tesis. Ketika terbit edaran bahwa jika UP tidak rampung dalam 7 semester dan tesis dalam 10 semester akan diberlakukan pembekuan status kemahasiswaan (artinya harus registrasi-ulang), baru saya tergerak kembali. Dengan mengambil judul tesis Penerapan Good Corporate Governance Pada BUMN dan Peranan Audit Sistem Informasi, baik UP maupun tesis saya selesaikan dalam waktu 3 bulan. Pada tanggal 3 Juni 2006 saya pun ikut dalam barisan mahasiswa yang diwisuda oleh Rektor UNPAD Prof. Himendra, yang dulunya sebangku dengan saya di SMA Teladan. Dengan selesainya program ini nama lengkap saya menjadi : Dr. Ir. Ichjar Musa, S.E., M.M., M.H.
Banyak teman yang ingin menebak gelar apa lagi yang akan saya raih. Beberapa menganjurkan saya untuk mengambil S-3 Hukum, ada juga yang sarankan ambil S-2 Filsafat saja, yang merupakan ibunya semua ilmu. Dengan santai saya selalu menyampaikan bahwa saya sedang menantikan gelar yang terakhir. Dan yang satu ini tak perlu kuliah, bikin tesis atau disertasi, yakni ALM alias Almarhum. Tapi jangan cepat-cepat ah, saya belum memerlukannya kok, he….he….
No comments:
Post a Comment