Ya ALLAH, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau dapat menjadikan kesulitan menjadi mudah jika Engau menghendaki (HR. Ibnu Hibban)
Kenangan bersama sembilan sahabat di SMA :
Pertama kali menginjak halaman SMA III Setiabudi saya berduaan ngobrol dengan murid baru lainnya yakni Hendra Himendra. Saya yang baru datang dari Bangka, masih kental dengan logat seberang, sedangkan si Dul atau Dulloh, demikian kami memanggilnya, yang baru datang dari Ciamis bicara dengan lidah Sunda medog. Si Dul memang jadi teman baik sekelas dan anggota tim basket, sekarang mantan Rektor UNPAD.
Tapi sahabat saya yang akrab adalah anggota grup studi yang lintas jurusan, ada yang dari Pasti-Alam dan ada yang Kimia-Hayat. Kami semuanya bersembilan, lima cowok dan empat ceweknya. Yang cowok adalah saya sendiri, Djoko, Guntur, Kahar dan Eman, sedangkan yang cewek adalah Teti, Tati, Tita dan Sita. Selain grup belajar, saya, Guntur, Eman dan Teti tinggal di daerah seputar Taman Tangkubanperahu, sehingga setiap pagi kami jalan kaki menuju Setiabudi melewati bioskop Gembira dan menembus kampung yang sekarang jadi jalan Rasuna Said. Djoko, Kahar dan Sita tinggal di Kebayoran Baru, sedangkan Tati dan Tita di daerah Menteng. Untuk lokasi belajar kami pindah-pindah tempat, kadangkala di jalan Falatehan rumah Djoko atau jalan Bonang rumah Tati. Yang jelas saya selalu wajib dijemput karena sayalah yang bertindak sebagai mentor untuk membimbing kawan-kawan ini menyiapkan PR, ulangan atau ujian. Sebagai imbalannya, saya suka diajak jajan mie pangsit jalan Nusantara III atau jalan Sabang. Djoko yang sering traktir karena dia yang paling binnen, punya uang dan mobil Peugeot.
Masing-masing kami mempunyai pembawaan yang berbeda, tetapi pertemanan kami selalu langgeng. Eman yang kami panggil Paspartu orangnya Padang kocak, selalu tertawa berderai. Guntur yang Batak adalah pianis klasik yang handal, penganut Advent yang kalau malam Minggu getol dansa karena sudah bebas Sabbath. Djoko, yang paling kalem sebenarnya ahli jujitsu, yang sayang karena kecelakaan menjadi pemalu. Kahar adalah yang tertua, paling kocak tetapi juga preman Kebayoran yang ditakuti. Teti tercatat sebagai “ikan duyung” sekolah kami dengan potongan tubuh aduhai. Tati, kakaknya bung Subronto Laras, anak pak Murdono wasit sepakbola waktu itu, bintang olahraga dan dansa. Tita sebagai gadis ramping berpenampilan India yang maut rayuannya, sedangkan Sita adalah penari Jawa yang lemah gemulai dan ayu dengan rambut panjang tergerai sampai ke kaki.
Sayang, dari sembilan orang ini, sekarang kami tinggal berenam. Eman sudah pergi paling dulu, demikian pula tak dinyana Sita dipanggil Ilahi baru-baru ini, dan tak lama kemudian disusul oleh Kahar. Tati dan Teti menjadi contoh obesitas sejati, sehingga tak terlihat lagi kemolekan yang dulu. Tita tetap ceriwis seperti sediakala, jauh dari obesitas dan malahan menjadi semakin langsing. Kasihan Djoko, dia terserang stroke dan lumpuh di kursi roda, sedangkan Guntur masih tetap maestro di depan piano. Untunglah tiga bulan sekali kami ada reuni ex SMA Teladan, sehingga masih dapat bertemu dan berbagi pengalaman yang dulu kami toreh bersama, sambil mengingat para sohib yang sudah tiada. Ironisnya, karena umumnya kita sudah usia senja dan ranum dipetik, dalam setiap pertemuan selalu ada kawan yang meninggalkan kita. Who’s next ?
Pergaulan akrab dengan tujuh sohib Elektro ITB :
Semasa kuliah di Elektro ITB, saya menjalin hubungan dengan teman satu grup belajar juga. Tiga orang eks SMA Teladan, yakni saya sendiri, Rubianto dan Parlaungan Siregar. Seorang dari SMA Budi Utomo Jakarta yakni Eddy Pardede, sedangkan lainnya dari Jabar yakni Kun Kunradt, Kun Gardjito (Kunce), dan Maryono Wirkus (Manneke). Yang terakhir bergabung, paling tua dan dari angkatan tua pula adalah Iwan Zoehra, orang Banten.
Selain belajar bersama, kecuali Iwan, kami bertujuh menjadi anggota Batalyon I Menwa Mahawarman. Juga kami berdelapan adalah anggota PMB dengan angkatan yang berbeda-beda. Beberapa diantara kami juga tergabung dalam drum band ITB, disamping bermain tennis yang merupakan olahraga elit waktu itu. Kami pun termasuk dalam barisan mahasiswa yang melakukan long-march ke Bogor dalam upaya meruntuhkan Orde Lama. Grup kami juga selalu kompak dalam menghadiri pesta-pesta mahasiswa, baik dalam pinjam meminjam jas maupun penyediaan alat transportasi. Sedangkan untuk belajar bersama, tempat yang dipakai lazimnya rumah Iwan di Kiai Gede Utama atau rumah Manneke di jalan Trunojoyo. Berbeda dengan posisi waktu di SMA, selama dalam grup belajar saya tidak bertindak sebagai mentor tetapi sebagai peserta biasa karena tingkat penguasaan ilmu kami agak merata. Walaupun pasti ada juga beberapa orang yang dibawah rata-rata.
Sayang pertemanan ini agak buyar waktu Orde Lama tumbang. Sebagian teman kebablasan dengan kosongnya kuliah dan banyak menghabiskan waktu dengan bermain tennis, bridge dan latihan bela-diri. Saya sendiri hijrah ke Jakarta untuk kerja praktek di IBM. Walaupun belajar bersama, tetapi lulusnya nasib masing-masing. Yang selesai paling dulu tentu bisa ditebak, sedangkan yang lulus terakhir ialah Kunce. Sedih sekali, kini kami hanya tinggal bertiga karena lima teman sudah pergi duluan. Yang pertama pergi ialah Eddy yang meninggal karena kecelakaan, disusul oleh Kunce yang sakit kanker lambung. Iwan meninggal mendadak sewaktu melatih penyembuhan spiritual Pandawa Lima, disusul oleh Manneke akibat kanker. Dan terakhir saya dengar bahwa Parlaungan meninggal beberapa bulan yang lalu. Tinggal saya dan Rubi yang masih sering berkomunikasi dan berdendang lagu bersama. Rubi pernah dua kali dioperasi lambungnya, alhamdulillah still going strong. Tetapi saya kehilangan kontak dengan Kunradt. Mudah-mudahan kawan yang satu ini masih dalam kondisi badan yang sehat walafiat dan iman yang kuat.
Suka-duka dengan kelompok studi Extension Ekonomi UI :
Walaupun Qoyum, Rohali dan Surghani yang ngajak masuk Extension FE-UI, karena beda kelas maka saya membentuk grup belajar sendiri. Kali ini kami berlima, saya sendiri, Kumhal, Aidil, Sahrul, dan Markoni. Semuanya orang Barat, saya dari Bangka Barat sedangkan keempat teman lainnya dari Sumatera Barat. Kumhal tamatan Jerman gaya bicaranya khas meyakinkan, Aidil yang jebolan ITB Elektro, angkatan lebih tua dari pada saya, berotak encer yang hemat berbagi ilmu. Sahrul yang paling rajin datang kuliah untuk menandatangani daftar hadir jika kami bolos, dan Markoni yang bicaranya berbelit-belit, maklum anggota DPR.
Kalau mau dibuat tanda jasa, rasanya dari kami berlima yang berhak adalah pak Sahrul. Pensiunan perwira ALRI ini menjadi tukang catat bahan kuliah yang cekatan, tulisan rapi dan siap kami terima fotokopinya. Sahrul juga yang rajin menghimpun soal-soal ujian lalu, yang kemudian setelah digandakan dan dijilid rapi malah menjadi barang dagangan yang dicari-cari oleh teman mahasiswa lainnya. Dasar orang Padang, apapun bisa jadi duit, salut deh.
Kalau soal otak, mungkin yang menonjol, maaf, ya kami berdua ex ITB Elektro, saya dan Aidil. Pada waktu itu Prof. Billy Judono, mantan Ketua BEPEKA kita, yang pegang mata kuliah Teori Organisasi, merupakan salah satu “killer”. Angka re, mi, fa, kadang-kadang sekali sol, menjadi langganan nilai ujian mahasiswa yang ikut mata kuliahnya. Tapi kami berdua yang memecahkan tradisi, saya dapat angka 8 dan Aidil angka 9. Kiatnya? Pahami pertanyaannya, kaji logikanya, lugas jawabannya pakai kalimat sependek mungkin, dan tentu harus benar. Saya tak punya banyak kenangan tentang pak Markoni. Yang paling terkesan adalah jawabannya jika kita menanyakan sesuatu hal kepadanya. Klasik sekali : “Ba ‘a ko, ado di buku !”.
Karena kami umumnya sudah bekerja, dan waktu itu berpenghasilan cukup, kami membawa hal baru dalam proses belajar mengajar. Jika biasanya presentasi paper menggunakan flip-chart, kami datang dengan OHP yang masih barang langka. Mahasiswa lain protes karena bikin transparansi saja seribu per lembarnya. Demikian pula hand-held calculator kami gunakan pada saat sekolah masih memakai mesin register kuno. Pernah dalam ujian Analisa Kuantitatif, dengan bantuan kalkultor dalam setengah jam saya sudah rampung menghitung, tinggal menulis rapi saja. Tiba-tiba masuk petugas ujian membacakan pengumuman bahwa untuk ujian ini dilarang pakai kalkulator tangan. Ya tidak jadi masalah, wong saya sudah selesai ngitung.
Selesai sekolah pertemanan kami berlanjut dalam pekerjaan. Sahrul sempat menjadi manajer di perusahaan software saya, Kumhal yang mengajak saya masuk Setneg dan kami pernah sama-sama menjadi Asmenko pak Hartarto yang Menko PRODIS. Sahrul sudah lama meninggal dan Markoni sudah tak pernah bertemu dan dengar kabarnya. Saya dan pak Kumhal untuk waktu yang panjang menjadi lawan-tanding tennis dan dulu jadi mitra tarik suara di karaoke. Kini, kami bertiga, saya, Kumhal dan Aidil sering bertemu sebagai anggota klub De Seniors di Senayan. Dan Aidil baru saja menyelesaikan program doktor di IPB, selamat bung !
Keakraban sesama peserta program MM UI :
Program MM-UI angkatan I mencakup dua jurusan, Manajemen Akuntansi dan Manajemen Keuangan Internasional. Jika di Akuntansi masih ada beberapa mahasiswinya maka di Keuangan Internasional gersang betul, laki-laki semua kecuali satu yang sudah dianggap sebagai cowok saja. Ditambah lagi sebagian besar mahasiswanya adalah pejabat atau pengusaha yang sudah banyak makan garam, kelas kami merupakan “kawah Candradimuka” bagi sebagian dosen pengajar. Guyon yang khas lelaki, pertanyaan yang pelik serta tanggapan yang sangar, merupakan keseharian dalam kelas kita.
Sayangnya, padatnya agenda sekolah menyebabkan kegiatan sosial kita kurang waktu. Memang terbentuk suatu grup studi, tetapi agak longgar ikatannya kecuali untuk beberapa orang tertentu. Sebut saja pak Setiohari, dulu kolega di Elnusa dan boss di Parapat & Associates, pak Secakusuma, boss Pembangunan Jaya yang pakai H di depan nama tetapi bukan haji melainkan Hiskak, atau Indrajit yang pernah dekan FT-UI. Juga ada Rudy yang manajer Garuda Maintenance Facilities, tidak sampai selesai kuliahnya dan lanjut ke Amrik, dan Nyoto, tamatan Singapura yang direktur South East Asia Bank. Nama lain yang patut saya ungkap ialah Arief, jenius jebolan Kimia Teknik ITB yang sigap dalam menyelesaikan soal hitung-menghitung. Selain masing-masing punya kantor yang representatif untuk tempat studi, jika ada tugas paper maka kami ngumpul akhir Minggu di Putri Duyung Cottage, tentu saja “on Seca”.
Walaupun sudah rada berumur, tingkah laku sebagai mahasiswa masih melekat. Sorakan meledak jika ada dosen berhalangan dan kami boleh pulang cepat. Demikian pula rebutan antrian makan malam, pilih posisi strategis dalam ujian, merupakan tingkah yang menggelikan kalau diingat kembali.
Setelah lulus hampir bersamaan karena sistem yang terstrukktur, praktis kami hanya kumpul kembali kalau ada acara reuni MM. Kesibukan masing-masing memisahkan kami, komunikasi dengan sms tentu saja kadang terjadi. Ada berita tentang Rudy yang kurang sukses dengan Indonesian Airlines, SEAB tempat Nyoto yang bubar, ada pula yang tersangkut skandal BNI. Sedih saya baru-baru ini mendengar bahwa Indradjit telah pergi, masih terbayang canda-gurau saat masih kuliah dulu. Hanya Setiohari yang masih bareng nyanyi sekali-sekali di De Seniors dan pak Seca yang kirim sms, just to say hello. Untuk menghilangkan rindu, sekali-sekali saya singgah di gedung MM. Memang tak ada lagi yang dikenal dan mengenal, kecuali Mini staf Administrasi Kemahasiswaan yang tubuhnya masih tetap maxi itu.
Pertemanan dalam kelompok belajar MH UNPAD :
Angkatan II “kelas jarak-jauh” program studi Magister Hukum UNPAD yang berlokasi di gedung Bumi Daya lantai II dibagi atas dua kelas A dan B. Entah berdasarkan kriteria apa, saya masuk kelas B yang menghimpun sekitar 30-an mahasiswa dan mahasiswi. Karena faktor umur maka secara aklamasi saya diangkat mejadi ketua kelas, sedangkan untuk sekretaris diangkat bu notaris, yang saya lupa namanya. Baik kelas A maupun B mayoritas berisi penyandang disiplin ilmu hukum, sebagian malahan pengacara terkenal seperti Elsa Syarif yang pembela perkara Tommy Soeharto, atau teman saya Rufinus Hutauruk yang ngantor di bilangan Kuningan.
Karena kajian hukum selalu bersifat normatif, grup terbentuk bukan karena perlu adanya pembahasan kelompok tetapi lebih dikaitkan dengan pembagian beban kerja penyelesaian paper. Sebagai ketua kelas saya memang mempunyai sedikit kewenangan untuk menentukan grup. Tetapi dalam hal tertentu dosen sendiri yang menetapkan anggota kelompok. Walaupun tak ada grup yang tetap, tetapi kami mempunyai grup teman yang lebih dekat satu sama lainnya. Kita saling kunjungi kantor, baik untuk bursa penulisan tugas paper, atau sekedar ngobrol santai. Sampai sekarang kami masih memelihara silaturahmi dengan makan siang bersama di resto Hotpot jl. Sabang. Setidaknya tiga bulan sekali ritau silaturahmi ini kami lakukan, tetapi dengan jumlah yang hadir semaikin menipis. Bukan karena sudah almarhum, namun karena lokasi tugas yang sudah bertebaran.
Kenangan bersama sembilan sahabat di SMA :
Pertama kali menginjak halaman SMA III Setiabudi saya berduaan ngobrol dengan murid baru lainnya yakni Hendra Himendra. Saya yang baru datang dari Bangka, masih kental dengan logat seberang, sedangkan si Dul atau Dulloh, demikian kami memanggilnya, yang baru datang dari Ciamis bicara dengan lidah Sunda medog. Si Dul memang jadi teman baik sekelas dan anggota tim basket, sekarang mantan Rektor UNPAD.
Tapi sahabat saya yang akrab adalah anggota grup studi yang lintas jurusan, ada yang dari Pasti-Alam dan ada yang Kimia-Hayat. Kami semuanya bersembilan, lima cowok dan empat ceweknya. Yang cowok adalah saya sendiri, Djoko, Guntur, Kahar dan Eman, sedangkan yang cewek adalah Teti, Tati, Tita dan Sita. Selain grup belajar, saya, Guntur, Eman dan Teti tinggal di daerah seputar Taman Tangkubanperahu, sehingga setiap pagi kami jalan kaki menuju Setiabudi melewati bioskop Gembira dan menembus kampung yang sekarang jadi jalan Rasuna Said. Djoko, Kahar dan Sita tinggal di Kebayoran Baru, sedangkan Tati dan Tita di daerah Menteng. Untuk lokasi belajar kami pindah-pindah tempat, kadangkala di jalan Falatehan rumah Djoko atau jalan Bonang rumah Tati. Yang jelas saya selalu wajib dijemput karena sayalah yang bertindak sebagai mentor untuk membimbing kawan-kawan ini menyiapkan PR, ulangan atau ujian. Sebagai imbalannya, saya suka diajak jajan mie pangsit jalan Nusantara III atau jalan Sabang. Djoko yang sering traktir karena dia yang paling binnen, punya uang dan mobil Peugeot.
Masing-masing kami mempunyai pembawaan yang berbeda, tetapi pertemanan kami selalu langgeng. Eman yang kami panggil Paspartu orangnya Padang kocak, selalu tertawa berderai. Guntur yang Batak adalah pianis klasik yang handal, penganut Advent yang kalau malam Minggu getol dansa karena sudah bebas Sabbath. Djoko, yang paling kalem sebenarnya ahli jujitsu, yang sayang karena kecelakaan menjadi pemalu. Kahar adalah yang tertua, paling kocak tetapi juga preman Kebayoran yang ditakuti. Teti tercatat sebagai “ikan duyung” sekolah kami dengan potongan tubuh aduhai. Tati, kakaknya bung Subronto Laras, anak pak Murdono wasit sepakbola waktu itu, bintang olahraga dan dansa. Tita sebagai gadis ramping berpenampilan India yang maut rayuannya, sedangkan Sita adalah penari Jawa yang lemah gemulai dan ayu dengan rambut panjang tergerai sampai ke kaki.
Sayang, dari sembilan orang ini, sekarang kami tinggal berenam. Eman sudah pergi paling dulu, demikian pula tak dinyana Sita dipanggil Ilahi baru-baru ini, dan tak lama kemudian disusul oleh Kahar. Tati dan Teti menjadi contoh obesitas sejati, sehingga tak terlihat lagi kemolekan yang dulu. Tita tetap ceriwis seperti sediakala, jauh dari obesitas dan malahan menjadi semakin langsing. Kasihan Djoko, dia terserang stroke dan lumpuh di kursi roda, sedangkan Guntur masih tetap maestro di depan piano. Untunglah tiga bulan sekali kami ada reuni ex SMA Teladan, sehingga masih dapat bertemu dan berbagi pengalaman yang dulu kami toreh bersama, sambil mengingat para sohib yang sudah tiada. Ironisnya, karena umumnya kita sudah usia senja dan ranum dipetik, dalam setiap pertemuan selalu ada kawan yang meninggalkan kita. Who’s next ?
Pergaulan akrab dengan tujuh sohib Elektro ITB :
Semasa kuliah di Elektro ITB, saya menjalin hubungan dengan teman satu grup belajar juga. Tiga orang eks SMA Teladan, yakni saya sendiri, Rubianto dan Parlaungan Siregar. Seorang dari SMA Budi Utomo Jakarta yakni Eddy Pardede, sedangkan lainnya dari Jabar yakni Kun Kunradt, Kun Gardjito (Kunce), dan Maryono Wirkus (Manneke). Yang terakhir bergabung, paling tua dan dari angkatan tua pula adalah Iwan Zoehra, orang Banten.
Selain belajar bersama, kecuali Iwan, kami bertujuh menjadi anggota Batalyon I Menwa Mahawarman. Juga kami berdelapan adalah anggota PMB dengan angkatan yang berbeda-beda. Beberapa diantara kami juga tergabung dalam drum band ITB, disamping bermain tennis yang merupakan olahraga elit waktu itu. Kami pun termasuk dalam barisan mahasiswa yang melakukan long-march ke Bogor dalam upaya meruntuhkan Orde Lama. Grup kami juga selalu kompak dalam menghadiri pesta-pesta mahasiswa, baik dalam pinjam meminjam jas maupun penyediaan alat transportasi. Sedangkan untuk belajar bersama, tempat yang dipakai lazimnya rumah Iwan di Kiai Gede Utama atau rumah Manneke di jalan Trunojoyo. Berbeda dengan posisi waktu di SMA, selama dalam grup belajar saya tidak bertindak sebagai mentor tetapi sebagai peserta biasa karena tingkat penguasaan ilmu kami agak merata. Walaupun pasti ada juga beberapa orang yang dibawah rata-rata.
Sayang pertemanan ini agak buyar waktu Orde Lama tumbang. Sebagian teman kebablasan dengan kosongnya kuliah dan banyak menghabiskan waktu dengan bermain tennis, bridge dan latihan bela-diri. Saya sendiri hijrah ke Jakarta untuk kerja praktek di IBM. Walaupun belajar bersama, tetapi lulusnya nasib masing-masing. Yang selesai paling dulu tentu bisa ditebak, sedangkan yang lulus terakhir ialah Kunce. Sedih sekali, kini kami hanya tinggal bertiga karena lima teman sudah pergi duluan. Yang pertama pergi ialah Eddy yang meninggal karena kecelakaan, disusul oleh Kunce yang sakit kanker lambung. Iwan meninggal mendadak sewaktu melatih penyembuhan spiritual Pandawa Lima, disusul oleh Manneke akibat kanker. Dan terakhir saya dengar bahwa Parlaungan meninggal beberapa bulan yang lalu. Tinggal saya dan Rubi yang masih sering berkomunikasi dan berdendang lagu bersama. Rubi pernah dua kali dioperasi lambungnya, alhamdulillah still going strong. Tetapi saya kehilangan kontak dengan Kunradt. Mudah-mudahan kawan yang satu ini masih dalam kondisi badan yang sehat walafiat dan iman yang kuat.
Suka-duka dengan kelompok studi Extension Ekonomi UI :
Walaupun Qoyum, Rohali dan Surghani yang ngajak masuk Extension FE-UI, karena beda kelas maka saya membentuk grup belajar sendiri. Kali ini kami berlima, saya sendiri, Kumhal, Aidil, Sahrul, dan Markoni. Semuanya orang Barat, saya dari Bangka Barat sedangkan keempat teman lainnya dari Sumatera Barat. Kumhal tamatan Jerman gaya bicaranya khas meyakinkan, Aidil yang jebolan ITB Elektro, angkatan lebih tua dari pada saya, berotak encer yang hemat berbagi ilmu. Sahrul yang paling rajin datang kuliah untuk menandatangani daftar hadir jika kami bolos, dan Markoni yang bicaranya berbelit-belit, maklum anggota DPR.
Kalau mau dibuat tanda jasa, rasanya dari kami berlima yang berhak adalah pak Sahrul. Pensiunan perwira ALRI ini menjadi tukang catat bahan kuliah yang cekatan, tulisan rapi dan siap kami terima fotokopinya. Sahrul juga yang rajin menghimpun soal-soal ujian lalu, yang kemudian setelah digandakan dan dijilid rapi malah menjadi barang dagangan yang dicari-cari oleh teman mahasiswa lainnya. Dasar orang Padang, apapun bisa jadi duit, salut deh.
Kalau soal otak, mungkin yang menonjol, maaf, ya kami berdua ex ITB Elektro, saya dan Aidil. Pada waktu itu Prof. Billy Judono, mantan Ketua BEPEKA kita, yang pegang mata kuliah Teori Organisasi, merupakan salah satu “killer”. Angka re, mi, fa, kadang-kadang sekali sol, menjadi langganan nilai ujian mahasiswa yang ikut mata kuliahnya. Tapi kami berdua yang memecahkan tradisi, saya dapat angka 8 dan Aidil angka 9. Kiatnya? Pahami pertanyaannya, kaji logikanya, lugas jawabannya pakai kalimat sependek mungkin, dan tentu harus benar. Saya tak punya banyak kenangan tentang pak Markoni. Yang paling terkesan adalah jawabannya jika kita menanyakan sesuatu hal kepadanya. Klasik sekali : “Ba ‘a ko, ado di buku !”.
Karena kami umumnya sudah bekerja, dan waktu itu berpenghasilan cukup, kami membawa hal baru dalam proses belajar mengajar. Jika biasanya presentasi paper menggunakan flip-chart, kami datang dengan OHP yang masih barang langka. Mahasiswa lain protes karena bikin transparansi saja seribu per lembarnya. Demikian pula hand-held calculator kami gunakan pada saat sekolah masih memakai mesin register kuno. Pernah dalam ujian Analisa Kuantitatif, dengan bantuan kalkultor dalam setengah jam saya sudah rampung menghitung, tinggal menulis rapi saja. Tiba-tiba masuk petugas ujian membacakan pengumuman bahwa untuk ujian ini dilarang pakai kalkulator tangan. Ya tidak jadi masalah, wong saya sudah selesai ngitung.
Selesai sekolah pertemanan kami berlanjut dalam pekerjaan. Sahrul sempat menjadi manajer di perusahaan software saya, Kumhal yang mengajak saya masuk Setneg dan kami pernah sama-sama menjadi Asmenko pak Hartarto yang Menko PRODIS. Sahrul sudah lama meninggal dan Markoni sudah tak pernah bertemu dan dengar kabarnya. Saya dan pak Kumhal untuk waktu yang panjang menjadi lawan-tanding tennis dan dulu jadi mitra tarik suara di karaoke. Kini, kami bertiga, saya, Kumhal dan Aidil sering bertemu sebagai anggota klub De Seniors di Senayan. Dan Aidil baru saja menyelesaikan program doktor di IPB, selamat bung !
Keakraban sesama peserta program MM UI :
Program MM-UI angkatan I mencakup dua jurusan, Manajemen Akuntansi dan Manajemen Keuangan Internasional. Jika di Akuntansi masih ada beberapa mahasiswinya maka di Keuangan Internasional gersang betul, laki-laki semua kecuali satu yang sudah dianggap sebagai cowok saja. Ditambah lagi sebagian besar mahasiswanya adalah pejabat atau pengusaha yang sudah banyak makan garam, kelas kami merupakan “kawah Candradimuka” bagi sebagian dosen pengajar. Guyon yang khas lelaki, pertanyaan yang pelik serta tanggapan yang sangar, merupakan keseharian dalam kelas kita.
Sayangnya, padatnya agenda sekolah menyebabkan kegiatan sosial kita kurang waktu. Memang terbentuk suatu grup studi, tetapi agak longgar ikatannya kecuali untuk beberapa orang tertentu. Sebut saja pak Setiohari, dulu kolega di Elnusa dan boss di Parapat & Associates, pak Secakusuma, boss Pembangunan Jaya yang pakai H di depan nama tetapi bukan haji melainkan Hiskak, atau Indrajit yang pernah dekan FT-UI. Juga ada Rudy yang manajer Garuda Maintenance Facilities, tidak sampai selesai kuliahnya dan lanjut ke Amrik, dan Nyoto, tamatan Singapura yang direktur South East Asia Bank. Nama lain yang patut saya ungkap ialah Arief, jenius jebolan Kimia Teknik ITB yang sigap dalam menyelesaikan soal hitung-menghitung. Selain masing-masing punya kantor yang representatif untuk tempat studi, jika ada tugas paper maka kami ngumpul akhir Minggu di Putri Duyung Cottage, tentu saja “on Seca”.
Walaupun sudah rada berumur, tingkah laku sebagai mahasiswa masih melekat. Sorakan meledak jika ada dosen berhalangan dan kami boleh pulang cepat. Demikian pula rebutan antrian makan malam, pilih posisi strategis dalam ujian, merupakan tingkah yang menggelikan kalau diingat kembali.
Setelah lulus hampir bersamaan karena sistem yang terstrukktur, praktis kami hanya kumpul kembali kalau ada acara reuni MM. Kesibukan masing-masing memisahkan kami, komunikasi dengan sms tentu saja kadang terjadi. Ada berita tentang Rudy yang kurang sukses dengan Indonesian Airlines, SEAB tempat Nyoto yang bubar, ada pula yang tersangkut skandal BNI. Sedih saya baru-baru ini mendengar bahwa Indradjit telah pergi, masih terbayang canda-gurau saat masih kuliah dulu. Hanya Setiohari yang masih bareng nyanyi sekali-sekali di De Seniors dan pak Seca yang kirim sms, just to say hello. Untuk menghilangkan rindu, sekali-sekali saya singgah di gedung MM. Memang tak ada lagi yang dikenal dan mengenal, kecuali Mini staf Administrasi Kemahasiswaan yang tubuhnya masih tetap maxi itu.
Pertemanan dalam kelompok belajar MH UNPAD :
Angkatan II “kelas jarak-jauh” program studi Magister Hukum UNPAD yang berlokasi di gedung Bumi Daya lantai II dibagi atas dua kelas A dan B. Entah berdasarkan kriteria apa, saya masuk kelas B yang menghimpun sekitar 30-an mahasiswa dan mahasiswi. Karena faktor umur maka secara aklamasi saya diangkat mejadi ketua kelas, sedangkan untuk sekretaris diangkat bu notaris, yang saya lupa namanya. Baik kelas A maupun B mayoritas berisi penyandang disiplin ilmu hukum, sebagian malahan pengacara terkenal seperti Elsa Syarif yang pembela perkara Tommy Soeharto, atau teman saya Rufinus Hutauruk yang ngantor di bilangan Kuningan.
Karena kajian hukum selalu bersifat normatif, grup terbentuk bukan karena perlu adanya pembahasan kelompok tetapi lebih dikaitkan dengan pembagian beban kerja penyelesaian paper. Sebagai ketua kelas saya memang mempunyai sedikit kewenangan untuk menentukan grup. Tetapi dalam hal tertentu dosen sendiri yang menetapkan anggota kelompok. Walaupun tak ada grup yang tetap, tetapi kami mempunyai grup teman yang lebih dekat satu sama lainnya. Kita saling kunjungi kantor, baik untuk bursa penulisan tugas paper, atau sekedar ngobrol santai. Sampai sekarang kami masih memelihara silaturahmi dengan makan siang bersama di resto Hotpot jl. Sabang. Setidaknya tiga bulan sekali ritau silaturahmi ini kami lakukan, tetapi dengan jumlah yang hadir semaikin menipis. Bukan karena sudah almarhum, namun karena lokasi tugas yang sudah bertebaran.
No comments:
Post a Comment