Monday, March 2, 2009

DUKUN SEKALI PUN, BOLEH SAKIT DONG !

Ya ALLAH, berilah keselamatan pada badanku. Ya ALLAH berilah keselamatan pada pendengaranku. Ya ALLAH, berilah keselamatan pada penglihatanku. Ya ALLAH, aku berlindung kepada-MU dari kekufuran dan kefakiran (HR. Abu Daud)

Siapa sih didunia ini yang tak pernah sakit? Kalau para Nabi pun masih bisa sakit, apalagi kita sebagai manusia biasa. Ada penyakit keturunan, dari DNA sononya, ada penyakit bawaan lahir, ada penyakit kena tulah, dan ada pula penyakit masyarakat. Bagi kami penghusada spiritual, penyakit dapat dipilah jadi tiga golongan, sebagai akibat dari ulah perbuatan kita pada masa lalu ; sebagai suatu cobaan Ilahi untuk ujian naik derajat ; dan sebagai pembenaran untuk menjemput maut.
Banyak penyakit yang justeru berasal dari ulah kita sendiri, yang kurang jaga kesehatan, melakukan hal-hal yang mengundang penyakit untuk hinggap, atau perbuatan yang melemahkan daya tahan dan tangkal tubuh. Sebagaimana halnya setiap naik kelas kita perlu diuji dulu, ada penyakit yang sengaja dititipkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menguji kita apakah sudah layak dinaikkan martabatnya. Sedangkan golongan ketiga adalah supaya terjadi hubungan kausal antara penyakit dengan kematian seseorang, kecuali kita mati kecelakaan ditubruk mobil atau ditimpa roket. Untuk kedua golongan penyakit yang di atas, kami para penghusada berupaya membantu penyembuhan karena hanya ALLAH yang kuasa menyembuhkan. Sedangkan untuk golongan yang ketiga, bantuan kami justeru untuk memudahkan yang bersangkutan segera wassalam dengan tenang menghadap ke Sang Pencipta.
Semasa kecil rasanya saya tidak pernah punya sejarah mengidap penyakit berat. Kalau penyakit “anak kampung” seperti cacingan, malaria tropikana maupun tersiana, campak dan diare, tentu bukan merupakan hal yang luar biasa. Pada waktu di SMP rasanya saya pernah diserang penyakit kuning alias hepatitis, entah A apa B, tapi yang jelas bukan hepa-C. Saya pernah dioperasi kecil di muka gara-gara infeksi jerawat yang ditowel-towel. Sampai sekarang bekas operasi tersebut masih terlihat walaupun tidak begitu kentara.
Waktu di bangku SMA, satu-satunya penyakit yang saya derita adalah kecelakaan jatuh dipagar rumah. Jatuhnya sih tidak masalah, tetapi gerak refleks saya yang menyambar kawat pagar menyebabkan telapak tangan saya terluka panjang. Dengan jahitan sebanyak 7 tempat sampai sekarang luka dan jahitan tersebut tetap membekas. Demikian pula selama kuliah S-1 di ITB selain sakit flu atau demam ringan, praktis saya tidak pernah sakit. Kalaupun ada, yakni kecelakaan waktu pertandingan basket , seperti yang sudah saya ceritakn sebelumnya. Lutut ini sampai sekarang masih bermasalah. Akibatnya posisi sholat saya pada waktu duduk antara dua sujud tidak sempurna. Sebagai “dukun” Reiki memang saya bisa mengendalikannya sehingga tidak menjadi semakin parah. Ada yang menganjurkan ke dr. Sehab, ahli bedah tulang, untuk dikerok agar sendinya mulus lagi. “Cukup dibolongin di tiga lubang kok”, penjelasan teman tersebut. Tapi mengingat biayanya tak sedikit, rasa ngeri yang tak bisa disanggah, serta umur yang sudah senja, saya urungkan niat untuk operasi lutut tersebut. Sekarang saya sedang mencoba terapi tusuk jarum, namum masih belum tuntas penyembuhannya.
Sakit yang cukup merepotkan terjadi sekitar tahun 1995. Menikmati masa cuti, saya beserta nyonya dengan tiga pasutri lainnya (Darwis, Edet dan Wiwik) membuat trip ke daratan Cina. Setelah selama dua minggu di Cina, rombongan terpisah, ada yang ke Korea, ada yang ke Hongkong dan saya sendiri meneruskan perjalanan ke Amrik. Kisahnya, sebagai Penasehat Dirut PLN bidang MIS saya mendampingi pejabat PLN menghadiri seminar ISACA Internasional di Philadelphia. Tiba-tiba pada hari kedua seminar badan saya panas tinggi dan muncul bintik-bintik merah. Demam berdarah belum lazim waktu itu, tetapi HIV/AIDS sudah merebak. Segera saya dilarikan ke RS setempat, dan diagnosanya sangat jelas : chicken pox atau cacar air ! Rupanya semasa kecil saya belum pernah terkena, sehingga tak ada kekebalan terhadap penyakit ini. Terjangkitnya pada waktu saya di Cina mengunjungi suatu objek wisata gua alam. Di situ banyak anak-anak kecil yang lucu, dengan muka gemuk dan pipi merah. Saya senang menowel-nowel anak-anak itu, dan rupanya ada yang baru kena cacar air sehingga terjangkitlah saya. Karena penyakit menular maka saya dilarang meninggalkan Amrik sampai dinyatakan sembuh. Masuk hotel pasti ditolak, tinggal di RS dianggap tak perlu, dan mau pulang kena larangan. Untungnya, kawan saya pak Kumhal menyewa apartemen di kota tersebut untuk dua anaknya bersekolah. Karena mereka sudah pernah kena cacar air maka saya diizinkan tinggal di apartemen tersebut selama berobat. Saya dikasi obat yang super keras dan mahal oleh RS, tetapi setiap hari harus kontrol. Nah, karena kasus orang berumur di atas 50 tahun yang terkena cacar air langka terjadi di Amrik maka setiap hari saya menjadi objek observasi bagi mahasiswa dan mahasiswi kedokteran. Setiap hari ganti mereka yang datang, dan saya ibarat model yang harus buka baju dan diteropong dari berbagai sudut. Luar biasa obatnya, kurang dari seminggu seluruh cacar kering dan mengelupas serta tak meninggalkan bekas sama sekali. Jadi waktu nyonya yang baru datang dari Korea dan harus berangkat lagi ke Amrik karena panggilan darurat, saya sendiri yang menjemputnya di lapangan udara.
Sakit yang hampir berakibat fatal terjadi waktu saya melaksanakan studi lapangan dalam rangka penyusunan disertasi doktor ITB. Selama 5 hari saya melakukan perjalanan non-stop ke beberapa lokasi. Pertama dari Jakarta ke Cilegon bolak-balik, terus dengan kereta api ke Surabaya dan kembali keesokan harinya. Dan malamnya langsung pergi lagi dari Jakarta ke Bandung. Dalam perjalanan ke Bandung melalui Purwakarta ini sekitar pukul 24.00 saya mampir makan di suatu resto Padang di perbukitan kebon teh. Saking laparnya saya langsung melahap makanan yang ada. Memang ada perasaan bahwa nasinya kurang enak tapi tak saya ambil peduli. Malahan supir saya yang kemudian di perjalanan bilang bahwa dia yakin nasi yang kami makan tadi sudah basi. Kondisi badan yang penat menyebabkan daya tahan tubuh ambruk, sehingga virus leluasa menyerang. Beberapa hari kemudian, sewaktu saya selesai memberikan kuliah di STIA LAN Bandung di lantai 3, badan saya mendadak panas dan lemas. Karena mahasiswa sudah lebih dulu pulang maka terpaksa menuruni tangga ke lantai dasar dengan merangkak seorang diri. Saya telpon Oceng, teman PMB saya, untuk mengantarkan saya ke klinik 24 jam di jalan Dago. Karena disangka hanya flu biasa, saya disuntik anti-biotik dan dikasi obat penurun panas. Kemudian saya didrop Oceng ke flat sewaan saya di jalan Banda. Sekali lagi penderitaan mendera karena kamar saya di lantai 3, saya harus merangkak lagi naik ke atas. Lengkap dengan baju dan sepatu saya tertidur sampai pagi dan bangun dalam keadaan menggigil. Nyonya segera dipanggil ke Bandung dan saya dibawa ke RS Advent. Observasi awal mengarah kepada demam berdarah atau typhus, tetapi menjadi tidak pasti gara-gara suntikan anti-biotik malamnya. Karena fasilitas kamar yang memadai tak tersedia maka saya dirujuk ke RS Boromeaus. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium berulang kali, akhirnya dipastikan bahwa penyakitnya typhus ringan. Dapat rawatan seminggu di RS tersebut akhirnya saya disarankan pulang dan istirahat di rumah saja. Kembali ke Jakarta saya langsung periksa dan konsultasi dengan dokter di RS Puri Cinere, dengan hasil saya dinyatakan sudah sembuh tapi sebaiknya banyak istirahat. Dasar bandel, saya mulai ikut main tennis di klub Vila Cinere Mas, makan kurang diatur dan istirahat rada kurang. Persis malam hari sekitar pukul 02.00 sewaktu menyaksikan pertandingan Piala Eropa, tiba-tiba badan saya panas tinggi sekitar 40◦C dan agak hilang kesadaran. Saya langsung dibawa ke RS Puri Cinere, masuk gawat darurat dan segera diinfus. Setelah diperiksa keesokan harinya, saya divonis kena typhus berat pada stadium yang sangat berbahaya. Sebagai Direktur RS, dr. Awo, teman saya dari Bandung, demikian pula dr. Emmy Salman, teman PMB saya, berusaha optimal agar saya tidak wassalam di RS yang dipimpinnya. Obat tercanggih disuntikkan melalui pembuluh darah di lengan. Karena obat suntik tersebut tidak bisa larut meyatu dengan darah maka pembuluh darah terasa mau pecah dan sakit sekali. Pada suntikan yang ketiga saya sudah tidak kuat lagi, dan minta obat dimasukkan dengan cara lain. Akhirnya diputuskan untuk menyalurkannya lewat infus, sakitnya agak kurang tetapi penderitaannya menjadi lebih panjang. Secara guyon saya selalu cerita kepada teman-teman bahwa dua hal yang paling menyiksa selama dirawat. Pertama, waktu obat disalurkan ke dalam tubuh, dan yang kedua waktu dimandikan. “Lho, bukannya enak dimandiin perawat cantik”, sergah mereka. Masalahnya, dr. Emmy sebagai pimpinan perawat selalu menugaskan perawat yang STW untuk memandikan saya, sehingga mandi menjadi ritual yang menyiksa. Sekitar dua minggu saya dirawat dan sewaktu pulang dipesan wanti-wanti agar istirahat selama dua bulan dan jaga makanan. Kali ini saya tak berani bandel, masih terbayang sakitnya kena suntik dan sebalnya dimandikan perawat STW.
Terakhir, saya akan cerita tentang penyakit yang sampai sekarang masih saya derita : Psoriasis. Harap jangan salah ucap jadi serosis, karena yang satu ini penyakit mematikan. Sedangkan psoriasis adalah penyakit yang tidak mematikan, kecuali jika penyandangnya sedang garuk-garuk gatal tiba-tiba disambar truk. Sebagaimana halnya dengan beberapa penyakit yang belum diketahui penyebabnya seperti sel yang sehat berubah menjadi sel kanker ganas, pemicu awal psoriasis sampai sekarang masih gelap. Dikenal dalam wujud tampilan luar berupa titik atau bercak kulit yang kasar dan atau merah, kulit kepala yang berkerak, atau kuku yang rusak, psoriasis dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh yang berperilaku abnormal (dikenal juga sebagai “auto-imune deases”). Jika pada manusia sehat sel-sel kulit secara otomatis akan tumbuh dan berganti dalam hitungan hari, maka pada penyandang psoriasis mutasinya dalam hitungan detik. Akibatnya terjadi penebalan yang terus menerus, dan terjadilah berbagai tampak luar yang tak sedap dipandang itu. Selain penyakit ini tidak menular, tidak juga mematikan, juga tidak pantang dalam hal makanan dan minuman. Jadi kepada teman-teman, selain saya persilahkan datang menjenguk jangan lupa agar mereka bawa makanan dan minuman sebagai buah-tangan. Tiga kali saya sangat menderita sebagai akibat penyakit ini. Pertama kali waktu pertama kali saya diterapi dengan menggunakan sinar ultra-violet B (UVB). Tanpa dilakukan percobaan dini, seorang dokter spesialis penyakit ini memasukkan saya ke dalam tabung dan menyinari seluruh tubuh saya dalam beberapa minggu dengan sinar UVB ini. Rupanya saya termasuk sedikit dari orang Indonesia yang mempunyai daya serap UVB yang tinggi. Ini baru saya sadari, mengapa setiap saya main golf pada siang hari muka saya akan hitam untuk jangka waktu mingguan, sedangkan orang lain hanya bilangan hari. Akibat sinar UVB ini sekujur tubuh saya menjadi gosong. Tak itu saja, pembuluh darah di sekujur kaki menjadi pecah dan kaki membesar dan tidak bisa dibawa jalan. Hampir dua bulan saya terkapar di tempat tidur, dan upaya pemulihan dengan obat-obatan dilakukan dengan hasil yang berangsur. Tapi mengingat obat yang digunakan adalah Methotrexate atau disingkat MTX sejenis obat terapi chemo untuk anti-kanker, dapat mengakibatkan kerusakan hati dan atau ginjal, maka saya menghindar untuk penggunaan selanjutnya. Setiap hari sekitar sebaskom penuh kulit yang rontok, dan malahan telapak kaki lepas seutuhnya. Kayak ular ganti kulit saja! Setelah on & off dengan psoriasis ini, ada kabar baik tentang pengobatan yang baru yang sedang dikembangkan oleh bidang kedoktertan : suntikan Enbrel. Obat ini terbukti 100% berhasil untuk menyembuhkan penyakit arthritis (radang sendi), tapi untuk psoriasis baru terbukti 70% saja. Yang sangat mengagetkan adalah harganya yang setiap kali suntik Rp. 1.500.000,- dan diperlukan 48 kali suntik agar tuntas. Saya sempat mencoba sampai dengan 8 kali suntik, dan terpaksa berhenti. Ternyata efek sampingan obat ini menyebabkan panas tubuh naik secara drastis, sampai-sampai ditempat tidur saya harus meletakkan kantong-kantong es untuk menurunkan suhu tubuh. Rupanya saya tergolong angka statistik yang 30% alias kurang berhasil. Namun demikian, setelah pengobatan dialihkan dengan obat telan, secara berangsur psoriasis saya menghilang. Jadi tidak gagal sepenuhnya, hanya memang cukup menderita bagi badan dan dompet. Obat telan ini yang disebut Neotigason, merupan vitamin A dosisi tinggi, yang mendorong Cytokin ( hormon kekebalan tubuh ) lebih gencar.

Dibandingkan denga Enbrel, Neotigason kurang penderitaannya. Untuk waktu dua minggu pertama biasanya satu jam setelah obat ditelan maka badan menjadi panas dingin. Dengan tingkat suksesnya yang memadai, untuk beberapa waktu saya selalu menggunakan obat ini jika serangan psoriasis terjadi. Saya juga pernaha mencoba dengan hasil yang cukup memuaskan cara penyembuhan dari Dr. Connolly. Melalui akses Internet saya mencoba mendapat info tentang cara penyembuhan ini. Dengan penyembuhan versi Dr. Connolly dari Amrik ini kita dianjurkan untuk menjalankan detox atas lever secara terus menerus dengan herbal buatan sana. Ditambah dengan suplemen untu menguatkan fungsi pancreas dan kebugaran secara umum, cara ini cukup efektif untuk mengurangi kambuhnya penyakit. Masalahnya justeru dari pengadaan suplemen yang diperlukan , karena hanya dipasarkan di Amrik saja. Ada yang menganjurkan untuk mencoba terapi stem-cell yakni mencangkokkan DNA kita sendiri yang dibiakkan untuk mengganti DNA yang bermasalah tersebut. Tetapi mengingat terapi ini belum 100% well-proven, saya masih trauma dengan pengalaman pakai Enbrel. Belum lagi biayanya tidak kurang dari Rp. 250,- juta. Psoriasis sembuh, kanker ( kantong kering ) yang pasti muncul.
Dengan menyandang predikat holistic-healer, teman-teman suka bergumam kalau dengar saya sakit, apakah batuk atau sendi lutut kumat. Masak dukun masih bisa sakit sih. Yah, bagaimana lagi, dukun juga manusia, jadi lumrah jatuh sakit. Tentu ada lebihnya, yakni bisa mengurangi rasa sakit dan berangsur mencoba untuk melakukan upaya penyembuhan diri. Semoga sakit yang saya derita masih sebatas cobaan Ilahi. Amien!

1 comment:

  1. Salam pak Ichjar, saya Edwin.
    Saya juga penderita psoriasi selama 5 tahunan ini. Mulai dari pso vulgaris sampai arthritis pernah saya alami. Begitu juga dengan pengobatannya, mulai dari mtx, uvb sampai dengan penggunakan salep racikan sudah saya lakoni pak. Saya berharap dapat mengetahui update-an selanjutnya mengenai pengobatan atau pun terapi agar pso ini tidak kambuh lagi atau minimal dapat 'tenang' dalam waktu yang cukup lama. Terima kasih juga pak buat info nya Pak.

    ReplyDelete